Saat Cermin Tidak Lagi Jujur II
Oleh Endik Koeswoyo
Ada keinginan untuk menjadi pemberontak saja dari pada menjadi pahlawan, atau menjadi penghianat saja agar bisa tertawa tanpa harus memikirkan orang lain. Alangkah munafiknya jiwaku ini, hanya cermin yang tidak akan bohong, hanya saja sungguh tidak enak menjadi seseorang laksana cermin. Saat seorang gadis berkaca, menari, membuka pakainya dan menggantinya dengan yang lebih indah, kita akan tau semua, saat dia tersenyum atau menangis kita juga akan tau. Tapi cermin tidak akan bisa memiliki sang gadis, setelah dia bersolek dan berubah menjadi cantik dia tidak akan berada didepan cermin, dia akan segera pergi keluar dan menemui kekasihnya yang telah menunggunya di ruang tamu..
Bila malam telah larut, ingin rasanya aku segera terbang dan menemani bintang-bintang yang kesepian, atau sekedar mengintipmu dari balik awan. Bersama kicau burung hantu dan sayup-sayup suara serangga yang bercengkrama dengan seribu katak yang congkak. Sebatang rokok yang kuhadirkan sebagai teman perlahan-lahan menghisap jiwaku kedalam lamunan yang tak pernah klimaks, menyeretku kedalam persetubuhan dengan setan-setan dalam otakku. Tokoh-tokoh yang tercipta antara hitam dan putih saling bertengkar berebut cermin retak, meludahi sesamanya karena mereka sebenarnya kecewa.
Bila pagi nanti tiba, aku tidak tau harus pulang kemana? Mencari setitik api yang mungkin bisa kujadikan penghangat dan pengusir embun, atau barangkali untuk membakar setangkai mawar biru yang dulu pernah diberikan kekasihku.Saat kugoyahkan sebatang pohon lalu kutiup daunnya yang berguguran aku teringat sesuatu yang menyengat yang kemudian membuatku menangis. Jiwaku benar-benar berontak, mencari tempat untuk berlabuh walau hanya sedetik saja, tapi dimana? sedangkan cermin selalu menampakkan jalan yang berlawanan, sedangkan teman selalu menunjukkan jalan yang bercabang, sedangkan sahabat hanya memberi sedikit lilin untuk penerang jalanku, sedangkan saudara hanya membekaliku dengan doa. Lalu…bila aku rindu kepada kusandarkan kepalaku untuk mengadu, kepada Tuhankah? Tidak aku belum pantas untuk melakukannya. Aku terlalu banyak dosa, terlalu seringaku menjadi penghianat terhadap hati kecilku.
Cermin benar-benar diam, memaksaku untuk berbalik arah dan kembali sebelum aku benar-benar pergi bersama setangkai mawar biru dengan aroma khas yang dulu pernah kuhirup sebelum aku terlelap…
Ada keinginan untuk menjadi pemberontak saja dari pada menjadi pahlawan, atau menjadi penghianat saja agar bisa tertawa tanpa harus memikirkan orang lain. Alangkah munafiknya jiwaku ini, hanya cermin yang tidak akan bohong, hanya saja sungguh tidak enak menjadi seseorang laksana cermin. Saat seorang gadis berkaca, menari, membuka pakainya dan menggantinya dengan yang lebih indah, kita akan tau semua, saat dia tersenyum atau menangis kita juga akan tau. Tapi cermin tidak akan bisa memiliki sang gadis, setelah dia bersolek dan berubah menjadi cantik dia tidak akan berada didepan cermin, dia akan segera pergi keluar dan menemui kekasihnya yang telah menunggunya di ruang tamu..
Bila malam telah larut, ingin rasanya aku segera terbang dan menemani bintang-bintang yang kesepian, atau sekedar mengintipmu dari balik awan. Bersama kicau burung hantu dan sayup-sayup suara serangga yang bercengkrama dengan seribu katak yang congkak. Sebatang rokok yang kuhadirkan sebagai teman perlahan-lahan menghisap jiwaku kedalam lamunan yang tak pernah klimaks, menyeretku kedalam persetubuhan dengan setan-setan dalam otakku. Tokoh-tokoh yang tercipta antara hitam dan putih saling bertengkar berebut cermin retak, meludahi sesamanya karena mereka sebenarnya kecewa.
Bila pagi nanti tiba, aku tidak tau harus pulang kemana? Mencari setitik api yang mungkin bisa kujadikan penghangat dan pengusir embun, atau barangkali untuk membakar setangkai mawar biru yang dulu pernah diberikan kekasihku.Saat kugoyahkan sebatang pohon lalu kutiup daunnya yang berguguran aku teringat sesuatu yang menyengat yang kemudian membuatku menangis. Jiwaku benar-benar berontak, mencari tempat untuk berlabuh walau hanya sedetik saja, tapi dimana? sedangkan cermin selalu menampakkan jalan yang berlawanan, sedangkan teman selalu menunjukkan jalan yang bercabang, sedangkan sahabat hanya memberi sedikit lilin untuk penerang jalanku, sedangkan saudara hanya membekaliku dengan doa. Lalu…bila aku rindu kepada kusandarkan kepalaku untuk mengadu, kepada Tuhankah? Tidak aku belum pantas untuk melakukannya. Aku terlalu banyak dosa, terlalu seringaku menjadi penghianat terhadap hati kecilku.
Cermin benar-benar diam, memaksaku untuk berbalik arah dan kembali sebelum aku benar-benar pergi bersama setangkai mawar biru dengan aroma khas yang dulu pernah kuhirup sebelum aku terlelap…
Posting Komentar untuk "Saat Cermin Tidak Lagi Jujur II"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...