AKU DAN BURUNG HANTU
Oleh: Endik Koeswoyo
Tidak seperti biasanya jika kini aku jalan sendirian menelusuri jalan kecil didepan kost-ku, sementara rokok pemberian teman masih terus ku hisap…tapi itulah aku yang lebih suka pada kegelapan. Kata Si Mbah bisa menenangkan otak. Atau setidaknya merasa nyaman saat sendiri…
Ini malam telah larut, karena aku sangat percaya pada jam kesayanganku yang memperlihatkan angka digital-nya 23.03. Terdiam sejenak, lalu mengapa satu sudut gang yang satu ini terasa enak untuk disinggahi. Yaa hanya duduk dan menikmati rokok satu-satunya yang tinggla se-senti.
Entah dia itu siapa…, menyapaku, menghampiri dan tiba-tiba memposisikan disamping lamunanku yang hampir klimaks. Aku tak merespon dan merasa tergangu, namun sebagimanapun juga senyum penyambutanku sangtlah otomatis dan manusiawi, walaupun khusus untuk manusia Indonesia, …Barangkali.
Aneh, cara komunikasinya hebat hingga aku terpaksa mendengarkan terus dan lambat laun masuk dalam pita otak juga. Itu tuh… kisah klasik bahwa ini memang simbol bahwa ini memang kota besar, karena ceritanya jika diungkap didesa tidak menarik lagi. Kisah seputar dia serba kekurangan, ortu-nya cerai dan dia ikut nenek-nya. Umur lima belas tahun baru ketemu ibunya lalu setahun lagi menemukan bapaknya… alih-alih bandar togel, sungguh sulit dipercaya. Dramanya begitu baku, kaku dan manja. Apalagi dia masih berani menambahkan tentang pacarnya yang anak orang kaya dan berbadan seksi.
Masih belum ku sedekahi komentar,…kuambil satu rokoknya. Setidaknya rokok inilah yang membuatku tidak meniggalkannya sejak tadi.
Ia masih terus bercerita mengingat ingatan atau merangkai ingatan secara spontan alias bo’ong, aku juga ngga’ perduli. Namun memang sungguh ASsU dia juga ngga’ perduli apakah aku mendengarkan ceritanya atau tidak. Mungkin nama dia memang assu, karena lupa belum mengenalkan dirinya.
O… yaa, sekarang sudah pada taraf akhir kelihatanya, karena ia sudah mulai menceritakan tentang harapan-harapannya. Tentulah yang ia bilang ingin punya uang banyak, imbasnya yaa biar ngga’ dihina oleh orang tua sang pacar yang kaya itu. Lebih detail lagih,…suatu saat ia pasti jadi orang kaya agar bisa memberikan beras neneknya. Sungguh syahdu-roman harapannya, seakan jika ia seorang cewek ia akan menjual diri walau dijalan-jalan. Namun apa daya kawan…walaupun sedikit cakep tapi tubuhnya sama sekali ngga’ seksi, atletis apalagi nggigolo. Paling anu-nya juga ngga’ besar…!
Nada ceritanya benar-benar seorang yang putus asa, namun dia juga mengimbangi dengan menunjukkan semangatnya untuk tetap ingin menjadi orang kaya. Lanjutan ceritang mengisahkan tentang pacarnya yang diambil paksa oleh orang tuanya, karena akan dijodohkan dengan pria yang lebuh setaraf ekonominya. He…he…
Masih belum kusedekahi komentar, …ia hisap roroknya dalam-dalam lalu dihembuskan bersama penat sambil mengubah posisi duduknya menjadi lebuh nyaman. Rasanya aku ingin segera pergi saja. Ingin sekali cepat-cepat meninggalkan si-assu yang mengidap penyakit psiko-dramatisasi itu,…atau nama penyakit yang lain karena itu tadi aku juga ngarang. But yeahh tak apalah! Karena rokonya masih beberapa batang.
Malam semakin terus beranjak mengantarkan fase ceritanya yang semaikin “parah”. Dia bilang kalau sebenarnya dia sudah menikah, mempunyai anak yang lahir tanpa surat nikah, tanpa restu tapi punya ijin dari Tuhan. Lalu…
Sudah sekitar empat setengah menitia hanya diam tertuduk, sedangkan aku yaa…tentu saja masih menikmati rokok ‘pemberiannya’. Namun sesaat kemudian ia seperti terperangah…menatapku redup, terlihatpula air matanya mengalir melewati pipi lalu masuk lagi kedalam mulutnya. Kini ia turun dari pagar usang itu, kembali mendekat, dan menepuk bahuku sambil mengatakan “nasip kita sama kawan…,tapi Tuhan pasti memberi jalan biarpun jalan itu remang atau bahkan gelap…!”
Sebelum bayangannya hilang diruas gang berikutnya ia mengucap salam “Selamat malam”. Sayapun menjawab dengan guman, “Assu…!”. Yaa…,karena dia benar. Nasibku memang benar-benar dan memang-memang sama dengan apa yang diceritakannya tadi. Really-really absolutely same…! Apakah dia itu saya…? Aneh!
“Ya…Selamat malam!”, teriakku menyusul langkah lesunya.
Itulah aku pada masa lampau…
Lalu kini aku berusaha membuang semua kenangan lama, yang terungkap lewat cerita anehnya…
Malam tadi, angin berhembus pelan. Mebuai semua yang terlelap di ranjang. Aku masih tegar dengan sebuah kanvas dan kuas. Duduk di belakang rumah menatap gundukan sampah yang sebenarnya sangat tidak aku ingini. Tapi aku hanya rakyat miskin, tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa untuk menentang kebijakan pemerintah atas tumpukan sampah itu.
Aku hanya mampu protes dari imajiku, dari gambar-gambar nyata yang kutuang menjadi imajinasi di dalam warna. Sungguh, aroma ini dulu tidak pernah tercium olehku. Tapi kini, dia begitu melekat dan menyengat. Membuat otakku seperti sampah. Dan tentu saja kusapa tanpa henti ribuan lalat yang mendengaung keras di sela-sela tumpahan cat minyakku.
Aku menerima semua ini. Kata neneku, hidup harus saling mengalah. Hidup harus mau menerima kekalahan. Menunduk namun melawan. Dengan apa kita bisa melawan? Dengan kekuatan apa? Semua sudah pudar dengan perjalan waktu. Semua sudah terkalahkan dengan keangkuhan dan kepentingan segelintir orang.
Inilah aku yang hidup dalam keterpaksaan. Dan aku masih ingin menerimnaya. Menerimanya dengan panas hati. Sungguh, aku terima semuanya. Tuhan...terimaksih.
Pagi ini kubuka mata sesaat, matahari belum benar-benar muncul. Mataku masih menerawang jauh, kealam mimpi semenit yang lalu. Ataukah aku akan masih terbaring hingga pagi benar-benar tiba. Seraut wajah ayu masih belum mampu kuusir dari benakku. Belum, aku belum mampu untuk itu.
“Mas, bilang pada adikmu! Jangan pernah ngomong yang macam-macam!”
“Hah? Apa yang baru saja kamu katakan? Apa aku tidak salah dengar?”
Raut wajahku berubah seketika. Aku paling tidak suka ada orang yang mengungkit itu. Aku paling anti nama adikku masuk kembali keotakku. Aku muak. Aku benci dan aku tidak mau dengar. Aku lebih suka angin malam berbisik pelan, aku lebih suka kicau burung kutilang dan aku lebih suka berita nakal dan sedikit ngeres. Aku muak degan keluarga. Aku adalah manusia yang tercipta untuk kesendirian.
Juga tentang gadis manis di sampingku. Aku tidak penah tau siapa dia sebenarnya. Yang aku tau, dialah yang menemaniku saat aku sendiri, saat aku butuh labuhan untuk mencurahkan air mataku. Saat aku membutuhkan belaian sayang, dia selalu ada. Disini, di kamar ini aku dan dia selalu memadu rasa –walau aku tidak pernah tau itu rasa apa-. Cinta, nafsu ataukah benci. Yang kurasakan hanya damai walau untuk sesaat.
Diluar sana burung hantu masih berusaha bersaing dengan ayam jantan yang enggan berkokok. Sementara aku disini masih terbaring letih dari tidur sesaatku. Lalu akankan aku bisa membelainya lagi, menciumnya lagi dan atau barangkali bercumbu untuk 150.882 tahun lagi bersama gadis ini. Dia yang kini memelukku erat. Yang kini menyatukan desah nafasnya dengan detak jantungku. Aku tidak tau dan tidak ingin tau. Maaf? Pada siapa aku harus minta maaf.
“Mas!” suara itu terdengar sedikit sesak.
Aku hanya membelai rambutnya sekali. Sebagai tanda aku mendengar ucapan lirihnya.
“Masihkah rasa sayangmu tercurah untukku?” lanjutnya pelan.
“Masih.”
“Akankan aku mendapatkan cintamu?”
“Entah, aku tidak tau apa itu cinta dan kebohongannya? Aku tidak ingin mengotori nama cinta. Cukup sayang saja! Yeach...hanya rasa itu yang aku punya!”
Aku, dia dan burung hantu juga ayam jantan terdiam membisu. Mencari jejak keadilah Tuhan yang Maha Adil. Mencari jejak-jejak Tuhan akan fatwa dan petuah yang meluncur lewat mulut harum para Nabi. Aku tau aku salah dengan ini semua. Dengan persetubuhan kosong tanpa makna, juga dengan kebencianku. Aku tau aku salah. Tapi masih saja aku kekar menahannya dalam kedapan tanpa makna. Murkakah Dia yang diatas sana? Tentu saja iya, tapi aku masih bisa tersenyum dan itu akn aku lakukan tapi entah sampai kapan?
Hidup adalah kebohongan dari lisan-lisan manis tak bertulang. Hidup tetap akan menjadi satu kali cerita panjang. Bagi mereka yang selalu kecewa. Hidup adalah kisad singkat bagi mereka yang berbahagia. Dan hidup adalah menakukkan bagiku yang telah terlalu lamaberkuang dalam dosa. Aku ingin mati. Mati dan mati. Untuk selamanya, tanpa harus ke surgaatau neraka. Aku sudah cukup puas dengan dunia ini. Aku sudah cukup puas dengan keadilah_Nya. Dia begitu sempurna menciptakan kita berbeda.
“Mas...aku akan pergi dulu!” gadisku bangkit dari ranjang tua yang lebih 23 tahun menemani tidurku.
Aku menahan tangannya. Aku tidak menginjinkan dia pergi lalu bertemu burung hantu, lalu bertemu dengan ayam jantan, alalu bertemu dengan pengemis takberbaju. Lalu bertemu dengan laki-laki sejenisku yang lebih memilih tubuh dari pada jiwa. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak ingin dia bersetubuh dengan malam apalagi laki-laki lain seperti biasanya. Aku ingin dia menjadi milikku walau tanpa ikatan, tanpa cinta. Tapi inilah hidup. Aku terlalu egois dengan mimpiku. Aku terlalu egois dengan candaku dan aku terlalu egois dengan renungan tanpa makna yang entah akan tebuang dari otakku ataukan akan terus tertancap selamanya.
“Aku butuh makan, aku butuh pakaina aku juga butuh cinta!” kata-kata itu membuatku bangkit dari mimpi. Aku harus berdiri dan menatap tajam matanya. Aku harus mampu berdiri dan berkata padanya keras “Tidak! Kamu tidak boleh pergi!”
Aku hanya pencundang, mentap matanya saja aku tidak mampu. Kubiarka langkahanya menjauh dengan isak tangis tanpa batas dan menyisakan kepedihan di hatiku. Aku terima semua ini dengan senyum getir. Kuterima semua ini dengan batas-batas ketabahanku dan sisa-sisa puing yang belum juga hilang.
Oh...burung hantu aku hanya ingin memilikinya. Memiliknya dengan sepenuh hatiku, aku ingin selalu mendekap tubuhnya yang tajam menghujam jantungku. Aku inginkan dia dengan gaun ungu dan kerundung biru tua seperti yang di pakai nenekku dulu. Aku ingin itu. Aku ingin memilikinya walau tanpa cinta. Bulssit dengan cinta dan kebohongannya. Yang aku tau adalah tubhnya indah, yang kau tau aroma melatinya khas, yang aku keringatnya mampu membuatku terlelap. Aku ingin meti bersamanya, walau tanpa surga dan neraka. Aku ingin kuning langsat kulistnya adalah cahaku kala gelap. Aku ingin mata beningnya adalah cermin kalau aku semain kusut. Aku ingin tinggi semapainya adalah tangga untuk alam imajinasiku. Aku ingin dia seutuhnya, bukan terbagi dengan banyak pria. Tanpa kata cinta, tanpa gombal tapi masih ada sayang yang akan kita junjung.
Oh...rintihanku hanya terobati oleh rambut hitamnya yang sebahu. Aku ingin itu semua. Aku ingin dia milikku untuk aku dan jiwaku. Bukan sekedar tubuh indah tanpa jiwa. Aku menerima dia tanpa ada asal apalgi usul. Dan setiap malamku aku ingin dia menyajikan secangkir kopi di dekat kanvas dan kuas. Aku ingin dia yang selalu menyeka tumpahan-tumpahan cat minyak di lantai kamar ini. Aku ingin hanya jenjang kaki indahnya yang menginjak halaman depan rumah tuaku. Aku ingin hanya senyumnya yang menghiasi dinding kamarku. Aku hanya ingin tawa renyahnya yang menjadi irama dan nyanyian indah pengantar tidur.
Pagi ini aku manrik nafas dari hamparan panjang kisah lama yang tebait anatar mimpi hanalan dan kenyataan. Yang kutau, ruangan ini hampa dan kosong. Setelah pertengkarandua hari yang lalu. Tanpa canda, tawa dan juga keringat kami. Aku hanya bisa menarik nafas panjang di sela-sela sauara burung hantu yang menakutkan. Tidak sperti biasanya terdengar indah.
Pagi ini kuraih koran yang sedari tadi malam kudekap. Sebuah gambar kupandang pelan dengan tertahan. Sesosok tubuh terbujur kaku dengan bercak darah menggenang di sampingnya. Daun pisang dan selembar tikar kumal menutup wajah dan tubuh telanjangnya.
DIDUGA PSK, GADIS CANTIK TANPA IDENTITAS DI TEMUKAN TEWAS MENGENASKAN DI HALAMAN BELAKANG SEBUAH HOTEL
Dadaku sesak dan semakin sesak. Semua pekat dan semakin pekat. Mulutku menjerit tanpa kata. Air hangat melumuri wajahku yan terlentang. Mataku kembali terpejam setelah sesaat tadi terbuka. Aku kembali kealam lain setelah semenit tadi aku sadar dan kembali ke alam nyata. Sendiri dalam pilu di lantai kamar usang yang berantakan tak-berwujud. Aku kecewa oleh semuanya, aku belum sempat mengumpat karrena tubuhku lemas. Kini hanya cahaya putih yang aku temukan. Putih yang menghampar tanpa ujung setelah tadi gelap. (Maskoes. 06)
*SEKIAN*
Oleh: Endik Koeswoyo
Tidak seperti biasanya jika kini aku jalan sendirian menelusuri jalan kecil didepan kost-ku, sementara rokok pemberian teman masih terus ku hisap…tapi itulah aku yang lebih suka pada kegelapan. Kata Si Mbah bisa menenangkan otak. Atau setidaknya merasa nyaman saat sendiri…
Ini malam telah larut, karena aku sangat percaya pada jam kesayanganku yang memperlihatkan angka digital-nya 23.03. Terdiam sejenak, lalu mengapa satu sudut gang yang satu ini terasa enak untuk disinggahi. Yaa hanya duduk dan menikmati rokok satu-satunya yang tinggla se-senti.
Entah dia itu siapa…, menyapaku, menghampiri dan tiba-tiba memposisikan disamping lamunanku yang hampir klimaks. Aku tak merespon dan merasa tergangu, namun sebagimanapun juga senyum penyambutanku sangtlah otomatis dan manusiawi, walaupun khusus untuk manusia Indonesia, …Barangkali.
Aneh, cara komunikasinya hebat hingga aku terpaksa mendengarkan terus dan lambat laun masuk dalam pita otak juga. Itu tuh… kisah klasik bahwa ini memang simbol bahwa ini memang kota besar, karena ceritanya jika diungkap didesa tidak menarik lagi. Kisah seputar dia serba kekurangan, ortu-nya cerai dan dia ikut nenek-nya. Umur lima belas tahun baru ketemu ibunya lalu setahun lagi menemukan bapaknya… alih-alih bandar togel, sungguh sulit dipercaya. Dramanya begitu baku, kaku dan manja. Apalagi dia masih berani menambahkan tentang pacarnya yang anak orang kaya dan berbadan seksi.
Masih belum ku sedekahi komentar,…kuambil satu rokoknya. Setidaknya rokok inilah yang membuatku tidak meniggalkannya sejak tadi.
Ia masih terus bercerita mengingat ingatan atau merangkai ingatan secara spontan alias bo’ong, aku juga ngga’ perduli. Namun memang sungguh ASsU dia juga ngga’ perduli apakah aku mendengarkan ceritanya atau tidak. Mungkin nama dia memang assu, karena lupa belum mengenalkan dirinya.
O… yaa, sekarang sudah pada taraf akhir kelihatanya, karena ia sudah mulai menceritakan tentang harapan-harapannya. Tentulah yang ia bilang ingin punya uang banyak, imbasnya yaa biar ngga’ dihina oleh orang tua sang pacar yang kaya itu. Lebih detail lagih,…suatu saat ia pasti jadi orang kaya agar bisa memberikan beras neneknya. Sungguh syahdu-roman harapannya, seakan jika ia seorang cewek ia akan menjual diri walau dijalan-jalan. Namun apa daya kawan…walaupun sedikit cakep tapi tubuhnya sama sekali ngga’ seksi, atletis apalagi nggigolo. Paling anu-nya juga ngga’ besar…!
Nada ceritanya benar-benar seorang yang putus asa, namun dia juga mengimbangi dengan menunjukkan semangatnya untuk tetap ingin menjadi orang kaya. Lanjutan ceritang mengisahkan tentang pacarnya yang diambil paksa oleh orang tuanya, karena akan dijodohkan dengan pria yang lebuh setaraf ekonominya. He…he…
Masih belum kusedekahi komentar, …ia hisap roroknya dalam-dalam lalu dihembuskan bersama penat sambil mengubah posisi duduknya menjadi lebuh nyaman. Rasanya aku ingin segera pergi saja. Ingin sekali cepat-cepat meninggalkan si-assu yang mengidap penyakit psiko-dramatisasi itu,…atau nama penyakit yang lain karena itu tadi aku juga ngarang. But yeahh tak apalah! Karena rokonya masih beberapa batang.
Malam semakin terus beranjak mengantarkan fase ceritanya yang semaikin “parah”. Dia bilang kalau sebenarnya dia sudah menikah, mempunyai anak yang lahir tanpa surat nikah, tanpa restu tapi punya ijin dari Tuhan. Lalu…
Sudah sekitar empat setengah menitia hanya diam tertuduk, sedangkan aku yaa…tentu saja masih menikmati rokok ‘pemberiannya’. Namun sesaat kemudian ia seperti terperangah…menatapku redup, terlihatpula air matanya mengalir melewati pipi lalu masuk lagi kedalam mulutnya. Kini ia turun dari pagar usang itu, kembali mendekat, dan menepuk bahuku sambil mengatakan “nasip kita sama kawan…,tapi Tuhan pasti memberi jalan biarpun jalan itu remang atau bahkan gelap…!”
Sebelum bayangannya hilang diruas gang berikutnya ia mengucap salam “Selamat malam”. Sayapun menjawab dengan guman, “Assu…!”. Yaa…,karena dia benar. Nasibku memang benar-benar dan memang-memang sama dengan apa yang diceritakannya tadi. Really-really absolutely same…! Apakah dia itu saya…? Aneh!
“Ya…Selamat malam!”, teriakku menyusul langkah lesunya.
Itulah aku pada masa lampau…
Lalu kini aku berusaha membuang semua kenangan lama, yang terungkap lewat cerita anehnya…
Malam tadi, angin berhembus pelan. Mebuai semua yang terlelap di ranjang. Aku masih tegar dengan sebuah kanvas dan kuas. Duduk di belakang rumah menatap gundukan sampah yang sebenarnya sangat tidak aku ingini. Tapi aku hanya rakyat miskin, tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa untuk menentang kebijakan pemerintah atas tumpukan sampah itu.
Aku hanya mampu protes dari imajiku, dari gambar-gambar nyata yang kutuang menjadi imajinasi di dalam warna. Sungguh, aroma ini dulu tidak pernah tercium olehku. Tapi kini, dia begitu melekat dan menyengat. Membuat otakku seperti sampah. Dan tentu saja kusapa tanpa henti ribuan lalat yang mendengaung keras di sela-sela tumpahan cat minyakku.
Aku menerima semua ini. Kata neneku, hidup harus saling mengalah. Hidup harus mau menerima kekalahan. Menunduk namun melawan. Dengan apa kita bisa melawan? Dengan kekuatan apa? Semua sudah pudar dengan perjalan waktu. Semua sudah terkalahkan dengan keangkuhan dan kepentingan segelintir orang.
Inilah aku yang hidup dalam keterpaksaan. Dan aku masih ingin menerimnaya. Menerimanya dengan panas hati. Sungguh, aku terima semuanya. Tuhan...terimaksih.
Pagi ini kubuka mata sesaat, matahari belum benar-benar muncul. Mataku masih menerawang jauh, kealam mimpi semenit yang lalu. Ataukah aku akan masih terbaring hingga pagi benar-benar tiba. Seraut wajah ayu masih belum mampu kuusir dari benakku. Belum, aku belum mampu untuk itu.
“Mas, bilang pada adikmu! Jangan pernah ngomong yang macam-macam!”
“Hah? Apa yang baru saja kamu katakan? Apa aku tidak salah dengar?”
Raut wajahku berubah seketika. Aku paling tidak suka ada orang yang mengungkit itu. Aku paling anti nama adikku masuk kembali keotakku. Aku muak. Aku benci dan aku tidak mau dengar. Aku lebih suka angin malam berbisik pelan, aku lebih suka kicau burung kutilang dan aku lebih suka berita nakal dan sedikit ngeres. Aku muak degan keluarga. Aku adalah manusia yang tercipta untuk kesendirian.
Juga tentang gadis manis di sampingku. Aku tidak penah tau siapa dia sebenarnya. Yang aku tau, dialah yang menemaniku saat aku sendiri, saat aku butuh labuhan untuk mencurahkan air mataku. Saat aku membutuhkan belaian sayang, dia selalu ada. Disini, di kamar ini aku dan dia selalu memadu rasa –walau aku tidak pernah tau itu rasa apa-. Cinta, nafsu ataukah benci. Yang kurasakan hanya damai walau untuk sesaat.
Diluar sana burung hantu masih berusaha bersaing dengan ayam jantan yang enggan berkokok. Sementara aku disini masih terbaring letih dari tidur sesaatku. Lalu akankan aku bisa membelainya lagi, menciumnya lagi dan atau barangkali bercumbu untuk 150.882 tahun lagi bersama gadis ini. Dia yang kini memelukku erat. Yang kini menyatukan desah nafasnya dengan detak jantungku. Aku tidak tau dan tidak ingin tau. Maaf? Pada siapa aku harus minta maaf.
“Mas!” suara itu terdengar sedikit sesak.
Aku hanya membelai rambutnya sekali. Sebagai tanda aku mendengar ucapan lirihnya.
“Masihkah rasa sayangmu tercurah untukku?” lanjutnya pelan.
“Masih.”
“Akankan aku mendapatkan cintamu?”
“Entah, aku tidak tau apa itu cinta dan kebohongannya? Aku tidak ingin mengotori nama cinta. Cukup sayang saja! Yeach...hanya rasa itu yang aku punya!”
Aku, dia dan burung hantu juga ayam jantan terdiam membisu. Mencari jejak keadilah Tuhan yang Maha Adil. Mencari jejak-jejak Tuhan akan fatwa dan petuah yang meluncur lewat mulut harum para Nabi. Aku tau aku salah dengan ini semua. Dengan persetubuhan kosong tanpa makna, juga dengan kebencianku. Aku tau aku salah. Tapi masih saja aku kekar menahannya dalam kedapan tanpa makna. Murkakah Dia yang diatas sana? Tentu saja iya, tapi aku masih bisa tersenyum dan itu akn aku lakukan tapi entah sampai kapan?
Hidup adalah kebohongan dari lisan-lisan manis tak bertulang. Hidup tetap akan menjadi satu kali cerita panjang. Bagi mereka yang selalu kecewa. Hidup adalah kisad singkat bagi mereka yang berbahagia. Dan hidup adalah menakukkan bagiku yang telah terlalu lamaberkuang dalam dosa. Aku ingin mati. Mati dan mati. Untuk selamanya, tanpa harus ke surgaatau neraka. Aku sudah cukup puas dengan dunia ini. Aku sudah cukup puas dengan keadilah_Nya. Dia begitu sempurna menciptakan kita berbeda.
“Mas...aku akan pergi dulu!” gadisku bangkit dari ranjang tua yang lebih 23 tahun menemani tidurku.
Aku menahan tangannya. Aku tidak menginjinkan dia pergi lalu bertemu burung hantu, lalu bertemu dengan ayam jantan, alalu bertemu dengan pengemis takberbaju. Lalu bertemu dengan laki-laki sejenisku yang lebih memilih tubuh dari pada jiwa. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak ingin dia bersetubuh dengan malam apalagi laki-laki lain seperti biasanya. Aku ingin dia menjadi milikku walau tanpa ikatan, tanpa cinta. Tapi inilah hidup. Aku terlalu egois dengan mimpiku. Aku terlalu egois dengan candaku dan aku terlalu egois dengan renungan tanpa makna yang entah akan tebuang dari otakku ataukan akan terus tertancap selamanya.
“Aku butuh makan, aku butuh pakaina aku juga butuh cinta!” kata-kata itu membuatku bangkit dari mimpi. Aku harus berdiri dan menatap tajam matanya. Aku harus mampu berdiri dan berkata padanya keras “Tidak! Kamu tidak boleh pergi!”
Aku hanya pencundang, mentap matanya saja aku tidak mampu. Kubiarka langkahanya menjauh dengan isak tangis tanpa batas dan menyisakan kepedihan di hatiku. Aku terima semua ini dengan senyum getir. Kuterima semua ini dengan batas-batas ketabahanku dan sisa-sisa puing yang belum juga hilang.
Oh...burung hantu aku hanya ingin memilikinya. Memiliknya dengan sepenuh hatiku, aku ingin selalu mendekap tubuhnya yang tajam menghujam jantungku. Aku inginkan dia dengan gaun ungu dan kerundung biru tua seperti yang di pakai nenekku dulu. Aku ingin itu. Aku ingin memilikinya walau tanpa cinta. Bulssit dengan cinta dan kebohongannya. Yang aku tau adalah tubhnya indah, yang kau tau aroma melatinya khas, yang aku keringatnya mampu membuatku terlelap. Aku ingin meti bersamanya, walau tanpa surga dan neraka. Aku ingin kuning langsat kulistnya adalah cahaku kala gelap. Aku ingin mata beningnya adalah cermin kalau aku semain kusut. Aku ingin tinggi semapainya adalah tangga untuk alam imajinasiku. Aku ingin dia seutuhnya, bukan terbagi dengan banyak pria. Tanpa kata cinta, tanpa gombal tapi masih ada sayang yang akan kita junjung.
Oh...rintihanku hanya terobati oleh rambut hitamnya yang sebahu. Aku ingin itu semua. Aku ingin dia milikku untuk aku dan jiwaku. Bukan sekedar tubuh indah tanpa jiwa. Aku menerima dia tanpa ada asal apalgi usul. Dan setiap malamku aku ingin dia menyajikan secangkir kopi di dekat kanvas dan kuas. Aku ingin dia yang selalu menyeka tumpahan-tumpahan cat minyak di lantai kamar ini. Aku ingin hanya jenjang kaki indahnya yang menginjak halaman depan rumah tuaku. Aku ingin hanya senyumnya yang menghiasi dinding kamarku. Aku hanya ingin tawa renyahnya yang menjadi irama dan nyanyian indah pengantar tidur.
Pagi ini aku manrik nafas dari hamparan panjang kisah lama yang tebait anatar mimpi hanalan dan kenyataan. Yang kutau, ruangan ini hampa dan kosong. Setelah pertengkarandua hari yang lalu. Tanpa canda, tawa dan juga keringat kami. Aku hanya bisa menarik nafas panjang di sela-sela sauara burung hantu yang menakutkan. Tidak sperti biasanya terdengar indah.
Pagi ini kuraih koran yang sedari tadi malam kudekap. Sebuah gambar kupandang pelan dengan tertahan. Sesosok tubuh terbujur kaku dengan bercak darah menggenang di sampingnya. Daun pisang dan selembar tikar kumal menutup wajah dan tubuh telanjangnya.
DIDUGA PSK, GADIS CANTIK TANPA IDENTITAS DI TEMUKAN TEWAS MENGENASKAN DI HALAMAN BELAKANG SEBUAH HOTEL
Dadaku sesak dan semakin sesak. Semua pekat dan semakin pekat. Mulutku menjerit tanpa kata. Air hangat melumuri wajahku yan terlentang. Mataku kembali terpejam setelah sesaat tadi terbuka. Aku kembali kealam lain setelah semenit tadi aku sadar dan kembali ke alam nyata. Sendiri dalam pilu di lantai kamar usang yang berantakan tak-berwujud. Aku kecewa oleh semuanya, aku belum sempat mengumpat karrena tubuhku lemas. Kini hanya cahaya putih yang aku temukan. Putih yang menghampar tanpa ujung setelah tadi gelap. (Maskoes. 06)
*SEKIAN*
Jln ceritanya spt film yg sayangnya aku lupa judulnya apa. Bedanya di film itu si cewek tidak berani u/ber commitment sm si cowok krn dia berkeras kepala berfikir bhw perasaan yg dia rasakan bukanlah cinta dan krn dia seorang wanita malam maka dia tidak boleh u/jatuh cinta. Istilahnya every customers are equals. End dia meninggalnya krn dibunuh sama cowoknya di dlm gereja di depan patung Bunda Maria dan itupun klo g slh atas permintaan si cewek sendiri.
BalasHapus