ANGIN PAGI...

Angin Pagi...
Oleh: Endik Koeswoyo



Angin pagi kali ini memaksa Ranto untuk segera membetulkan selimut tipis kumalnya. Kamar kost pengapnya membuat Ranto beberapa kali harus terbatuk-batuk. Sejak dini hari tadi, pikirannya jauh melayang ke kota asalnya. Jogja, lalu ke Bantul. Sejak tadi pagi hampir semua radio dan televisi yang ditontonnya menyiarkan tentang bencana itu. Gempa dasyat dan ribuan korban. Kini, ketika malam menjelang pagi yang ada dalam benaknya hanya doa untuk Bapak, Ibu dan seorang adiknya.
Rasa rindu yang mencekam, rasa gelisah ingin segera pulang menengok keluarga tercinta yang telah hampir dua tahun ini ditinggalkannya. Ekonomi yang semakin sulit membuatnya harus rela meninggalkan keluarga tercinta untuk merantau dan mengadu nasip di Jakarta. Sebuah kota paling kejam menurutnya. Belum lagi majikannya yang sangat pelit itu. Kemarin, ketika Ranto meminta ijin pulang bukan ijin yang diberikan tapi malah makian. Namanya juga buruh, jadi Ranto harus menunggu sehari lagi agar bisa pulang kedesanya.


* * *



Hiruk pikuk para calo stasiun Tanah Abang tidak dihiraukannya pagi itu. Langkahnya pasti, gerbong lokomotif ekonomi. Sepi, lengang dengan aroma pesing yang menyengat. Sepertinya Ranto orang pertama yang naik ke-gerbong tersebut. Rasa gelisah karena belum adanya kabar, jelas terlihat diwajahnya. Sebatang rokok dijuhutnya dengan pelan ketika seorang pengemis kecil mengulurkan tangan lemasnya. Setelah menyalakan rokok tersebut Ranto memasukkan tangannya kesaku celana untuk mencari uang kecil. Ranto tersenyum membalas senyum si-pengemis kecil yang baru saja menerima uang seribu perak.
Cukup lama bagi Ranto untuk menunggu kereta itu menderu kencang. Setelah sebatang rokok itu habis, barulah ada beberapa penumpang lain yang masuk ke gerbong tersebut. Panas dan pengap mulai dirasakannya ketika pengasong dan pengemis mulai berjejal.
“Gempa Jogja! Gempa Jogja! Gempa paling dasyat! Sampai hari ini sudah lebih 3.000 jiwa meninggal dan akan terus bertambah!” suara penjaja koran itu sayup-sayup terdengar dan semakin lama semakin jelas. Sebaris kalimat itu terus terngiang seperti seorang anak kecil yang menghapalkan teks Pancasila. Selalu seperti itu hingga Ranto menghentikannya.
“Korannya Mas!” ucap Ranto cepat.
Dengan senyum senang, koran yang diminta ranto Ranto langsung disodorkan. Ranto menghela nafas panjang. Korban mencapai 3.000 jiwa dan akan terus bertambah karena proses evakuasi banyak mengalami kendala. Terutama kurangnya alat-alat berat dan tenaga relawan.
“Ini Mas kembaliannya!” sipenjual koran menyodorkan beberapa lembar uang kertas pada Ranto.
“Gempa Jogja! Gempa Jogja! Gempa paling dasyat! Sampai hari ini sudah lebih 3.000 jiwa meninggal dan akan terus bertambah!” Dengan langkah ringan dan suara yang sama, penjual koran itu menelusuri gerbong demi gerbong lainnya hingga suaranya menghilang.
Cahaya redup pagi itu menembus cendela berdebu yang retak disana-sini. Rasa panas dan pengap kota jakarta membuat Ranto gelisah didalam kereta. Sesaat kemudian, hanya gambar bangunan runtuh yang dipandanginya kemudian, huruf-huruf itu belum bisa dicernanya dengan benar. Dilipat olehnya koran itu menjadi lebih kecil dan dimasukan kedalam tasnya. Terselip diantara baju dan sekedar oleh-oleh untuk keluarga tercinta. Nafasnya pelan terhembus seiring gerak pelan kereta yang telah didahului oleh lantunan peluit penjaga stasiun. Dengan doa panjangnya, Ranto menyandarkan tubuh lemasnya. Wajah-wajah disekelilingnya tampak lesu, tidak jauh berbeda dengannya. Mungkin pikiran mereka sama, keluarga yang di Jogja.
Entah telah berapa kali kereta berhenti sejenak distasiun-stasiun kota yang dilaluinya. Ranto hanya bisa tidur sesaat lalu bangun lagi, tidur sesaat lalu bangun kembali. Selalu saja seperti itu. Hingga akhrinya sebuah stasiun yang cukup dikenalnya menjadi perhentian kereta malam ini. Puku 21:54, satu jam lebih lama dari jadwal sebenarnya.
Langkah tergegas dengan sebuah tas ransel besar menggelayut di pundaknya. Keringat yang sedari tadi menetes pelan disekanya dengan cepat ketika dia menghampiri sebuah taksi.
“Malam Pak! Bisa diantar ke Bantul?” Ranto mengamati alroji imitasinya sesaat.
“Bantulnya mana Mas?” sahut si-sopir dengan pelan pula.
“Daerah Panggang!” sahut Ranto lirih.
“Saya hanya bisa mengantar sampai Jalan Wonosari saja. Kilo meter 8 atau 9.”
“Kenapa Pak?” sahut ranto cepat sambil mengamati kalau-kalau ada tukang ojek atau angkutan lain.
“Masalahnya di sana rawan Mas! Banyak maling, takut-takut nanti salah paham,” jawab lelaki itu memberi sebuah penjelasan.
Ranto menghela nafas panjang. Menghembuskannya pelan lalu membuka pintu taksi dengan pelan pula. Mobil sedan kuning itu melaju dengan kecepatan tinggi dijalan yang memang sepi itu. Ranto hanya bisa gelisah.
Kini dalam kegelapan malam yang mencekam Ranto hanya bisa mengusap peluh berkali-kali yang membasi hampir seluruh wajahnya. Kakinya sudah terasa sangat pegal-pegal. Bayangan hitam puing-puing yang runtuh membuat dadanya semakin sesak malam itu. Beberapa kali pula pemuda itu harus mengeluarkan KTP-nya saat bertemu dengan warga.
Lebih dari Dua jam pemuda itu berjalan, menanjak dan menurunnya jalan seakan tidak terasa olehnya. Sepi sekali malam itu, angin membawa dingin dari mendung yang sebentar lagi akan turun. Diujung jalan terlihat olehnya beberapa cahaya yang datang dari obor mendekat kearahnya.
“Malam Mas! Ada apa malam-malam begini masih keluyuran?” bentak seorang pmuda yang baru saja mendekat kearahnya.
Ranto tersenyum simpul sambil membuka topinya. Pemuda yang tadi terlihat kasar langsung memeluk Ranto. Hilang sudah wajah amarah yang sesaat terlintas. Pemuda yang lain juga mendekat kearah Ranto sambil mejabat tangannya yang masih sedikit bergetar lelah.
“Bagaimana keadaan desa kita Mar!?” tanya Ranto pata Marji sahabatnya.
“Hancur Ran! Semua rumah hancur! Banyak warga yang belum jelas keberadaannya setelah dua hari ini. Tapi Ran? Ehm... Sama siapa kamu malam-malam begini?”
“Sendiri Mar! Keluarga saya bagimana?” ucap Ranto segera sambil berjalan sedikit tergesa mengikuti cahaya obor-obor itu.
“Hanya Ranti Adikmu yang aku tau.” Marji mengucapnya dengan lirih.
Ranto menghentikan langkahnya sesaat. Sementara Marji masih terus berjalan mengikuti pemuda-pemuda yang lain. Sesaat kemudian Ranto setengah berlari mengejar rombongan itu.
“Mar! Marji! Apa Ranti baik-baik saja?”
“Alhamdulilah! Hanya lecet-lecet. Kuharap dia akan senang dengan kedatanganmu!”
Langkah robongan itu seamkin cepat menelusuri jalan gelap yang menanjak. Di tanah lapang uung jalan itu terlihat beberapa tenda yang tertata tidak rapi. Lampu-lampu sentir minyak tanah kelap-kelip tertiup angin. Udara dingin berbaur dengan tangsi bayi yang memilukan. Pemuda-pemuda itu kemudian masuk kesebuah tenda yang paling besar. Sementara Marji menarik tangan Ranto dengan cepat.
“Ayo kita temui Ranti!” Marji bergegas menuju kesebuah tenda yang ada ditengah lapangan.
Lampu petromak menyala terang menerangi tenda itu. Ranto menarik nafas panjang melihat beberapa orang ibu-ibu yang terbaring dengan perban seadanya. Suara rintihan kadang-kadang terdengar sangat jelas malam itu.
“Itu Ranti!” Marji menunjuk seorang gadis yang terbaring lemas disudut ruangan.
Ranto mendekatinya. Nafasnya semakin sesak. Diamatinya Ranti yang terkulai lemas dengan perban yang hampir memenuhi wajah pucatnya.
“Dek! Dek Ranti...” sapa Ranto lirih sambil memegang tangan adiknya dengan lembut.
Ranti membuka mata, menguceknya pelan. Matanya memandang tajam pemuda yang ada didepannya, ya...dia adalah kakaknya. Ranto.
“Mas...” hanya kata itu yang bisa diucapkannya. Ranto lalu memeluk adiknya seerat mungkin. Isak tangis keduanya memecah keheningan malam itu. Diluar sana, huan gerimis mulai turun. Kilat yang sesekali menyambar membuat susana semakin mencekam.

* * *
“Kita harus bersatu! Kita harus bangkit! Tidak ada gunanya kita menunggu sesuatu yang tidak Pasti! Kita harus bangkit dan bergerak dengan kekuatan yang ada! Pemerintah sekarang tidak bisa diharapkan kepastiannya! Kalian yang masih muda dan punya tenaga, marilah kita mencari keluarga yang hilang. Sebagian lagi yang masih punya KTP, segeralah meminta dan mencari bantuan logistik! Kalau kita hanya duduk menunggu disini, niscaya kita akan mati satu persatu!” suara Ranto memecah keheningan tenda utama yang sedari tadi hanya dihuni oleh pera lelaki yang terduduk pasarah.
“Tapi Mas Ranto! Apa kita mampu mencari korban yang tertimbun reruntuhan? Sementara kita tidak punya pengalaman dan kurangnya alat-alat.” ucap seorang warga yang duduk paling belakang.
“Kita harus bisa! Yang kita butuhkan hanya kemauan dan kebersamaan!” Ranto diam sejenak. “Sekarang siapa yang keluarganya belum ditemukan!?” lanjutnya sesaat kemudian.
Marji maju sambil menyerahkan selembar ketas pada Ranto. Ranto lalu membacanya sebentar.
“Baiklah saudara-saudara sekalian! Kita mulai pencarian hari ini dari rumahnya Pak Ahmad! Bawa peralatan seperlunya dan seadanya.”
“Maaf Mas! Keluarga saya juag belum ketemu!? Kenapa harus Rumah Pak Ahmad dulu? Bukankah keluarganya sekarang tidak ada yang disini?” celetuk seorang watga yang sedari tadi hanya tertunduk lesu.
“Buang jauh-jauh perasaan iri itu Pak! Kita mulai dari yang terdekat dari kita saat ini! Baru kemudian kearah timur! Bila Bapak tidak mau silahkan bapak berada ditenda ini selamanya! Oh ya...kang Yanto dan empat orang yang lain, yang masih punya sepeda motor segeralah menuju ke kota! Pak Rt tolong warga yang lain dikoordasi dan didata ulang.” dengan seujta perasaan yang berkecamuk dihatinya, Ranto melangkah menuju keluar tenda. Sepi, hanya beberapa anak-anak yang berlarian mengejar bola plastik.
Angin pagi yang membawa kabar duka dan dubu sesak bertiup pelan. Ketika itu masih dengan sebuah pertanyaan tentang Bapak dan Ibu tercinta. Kemana mereka saat ini? Puing-puing hanya tetap mejadi puing ketika orang-orang tercinta menghilang entah kemana. Matahari diujung timur masih bersinar seperti biasa, sebenatar lagi panas akan menyengat. Mengingatkan pada kita Tuhan masih tetap Yang Maha Kuasa atas segalanya...
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

1 komentar untuk "ANGIN PAGI..."

  1. People talk about the need to reform Islam. Now you can stop talking and start helping.

    With the help of our readers we went through the Koran and removed every verse that we believe did not come from Allah, the Most Merciful, the Most Compassionate. We would like to publish Reform Koran in as many languages as possible. If you could help with translation, editing, or distribution of the Reform Koran, please email us at koran-AT-reformislam.org. If you could provide financial support, please visit our support page.

    In Memoriam of Aqsa Parvez.

    http://www.reformislam.org/reform.php

    BalasHapus

Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress