SERATUS HARINYA BAPAK

SERATUS HARINYA BAPAK
Oleh Endik Koeswoyo


Sungguh saya tidak menyangka, kalau akan datang tamu sebanyak ini. Apalagi Emak, hanya bisa jalan-jalan dari dapur keruang tamu, begitu saja dari tadi, bolak-balik seperti orang bingung.
“Mak, kenapa?’’
“Entahlah Le, Emak bingung!” sambil nyelonong lagi keruang tamu, menyalami ibu-ibu yang baru datang.
Tamu yang datang semakin banyak, saya sudah dua kali mengambil tikar di mushola Haji Nandar. Didapur, Yu Jum dan Lek Katiran juga kebingungan, nasi yang ada di dandang sudah hampir habis. Untung ada Kang Poniman dan Istrinya yang membuat dapur dari tumpukan bata merah dibelakang rumah. Terlihat juga Kang To dan anaknya sedang menyembelih beberapa ekor ayam.
“Le…cepat belikan beras, Kang Pon sudah selesai bikin dapurnya!” istrinya Kang Poniman tergopoh-gopoh sambil menyincing jariknya.
Saya mencari-cari Emak kedapur tapi tidak ketemu, lalu keruang tamu juga tidak ada. “Ah…kemana emakku ini” gumanku dalam hati saat itu. Saya berlari kekamar mengambil uang, tapi uangku saat itu hanya lima ribu perak. Saya lari lagi kedapur, mencari Kang Poniman.
“Berapa kilo Kang?”
“Sepuluh kilo!” sambil memasukkan kayu bakar kedalam dapur daruratnya.
Saya lalu berlari lewat samping rumah menuju warungnya Yu Jah, saya tau wanita itu pasti akan menggerutu bila aku ngutang. Tapi kemana lagi, hanya warung itulah yang terdekat. Sebenarnya dalam hati ini takut juga.
Setibanya didepan warung, saya melihat Yu Jah sudah mau menutup warungnya.
“Yu, saya ngutang berasnya dulu ya!”
“Berapa kilo?”
“Sepuluh kilo Yu, tapi ngutang dulu soalnya saya mencari-cari Emak tidak ketemu, nanti kalau sudah ketemu saya kesini lagi”
Wanita itu mengambil setengah karung beras dari bawah meja dagangannya. Dia tersenyum manis, tidak seperti biasanya yang selalu ngomel bila ada orang yang ngutang. Bahkan beberapa kali Emak tidak jadi ngutang diwarungnya gara-gara omongannya yang terlalu pedas.
“Ini, bawa saja dulu!”
“Banyak sekali Yu, kata Kang Poniman hanya sepuluh kilo?”
“Sudah tidak apa-apa, bawa saja dulu siapa tau nanti kurang?”
Tanpa berpikir panjang, saya memanggul beras setengah karung itu. Beratnya mungkin lebih dari dua puluh kilo.
“Le, tamunya sudah banyak belum?”
“Sudah Yu”
Saya juga heran kenapa Yu Jah menanyakan itu, lebih heran lagi ketika dia bilang kalau mau datang juga. Padahal wanita yang satu ini tidak pernah mau datang kerumah orang lain dalam acara hajatan walaupun diundang. Dia memilih tetap berada di warungnya.
“Cepat dibawa pulang nanti kehabisan nasi lho, saya juga mau pergi kerumahmu!”
Wanita itu masuk kedalam mengambil tasnya, menutup pintu dan berjalan kearah saya.
“Lho malah bengong ki piye to? Ayo!”
Wanita ini menarik tanganku, saya seperti orang kaget. Aku hanya mengikuti Yu Jah dari belakang, setelah dekat rumah, saya belok kearah kebun singkongnya Lek Man.
“Saya lewat sini saja Yu!”
“Ya”
Wanita itu menjawab tanpa melihat kearahku. Saya langsung menuju kedapur belakang. Kang Poniman membatu menurunkan beras itu dari pundakku.
“Banyak sekali Le?”
“Iya Kang, habis Yu Jah memaksa saya untuk membawa semuanya”
“Tumben wanita itu baik hatinya ya?”
Kang Poniman mengeluarkan komentar itu sambil membuka karung beras itu. Dia lalu memanggil istrinya dan menyuruh mencuci setengah ember beras disumur.
Masih dalam suana kebingungan saya mencari emak lagi. Belum juga kutemukan, mungkin Emak ada di depan.
Rumah kayu peninggalan Almarhum Bapak ini memang cukup luas, beberapa tamu yang duduk diruang tamu itu juga cukup banyak , hampir memenuhi ruangan. Ibu-ibu memilih duduk dikursi kayu yang berjajar di teras depan. Sambil mencari-cari Emak saya sempat memperhatikan bapak-bapak yang duduk diruang tamu itu, kira-kira lebih dari delapan puluh orang, sedangkan diruang tengah yang bersekat dinding tripek dari ruang tamu, ada sekitar empat puluh orang. Saya masih juga keheranan, sepertinya hampir seluruh warga kampung ini datang kerumah. Terlihat juga Pak lurah dengan baju safarinya, pak RW. Pak RT. Juga pemuda-pemuda karang taruna semua hadir. Disamping rumah juga ada Haji Nandar dengan beberapa santrinya yang sedang asyik bercanda.
Saya kembali kedapur lagi, menemui Kang Poniman dan Istrinya, tapi kali ini Kang Poniman tidak sendiri, ada dua orang santrinya Haji Nandar yang membantu menuang kopi. Juga beberapa Ibu-ibu yang sibuk menata gelas di baki. Lek Jum dan Kang Poniran juga sibuk menata piring-piring yang berisi nasi. Dua orang anak pak RT. membantunya, mereka membawa piring-piring berisi nasi itu kedepan.
“Kang Pon, Emak dimana?”
“Baru saja dari sini, katanya dipanggil Bu Lurah, mungkin didepan!”
Saya tenang, setidaknya Emak tidak menghilang. Saya membatu Kang Poniman mengambil kayu bakar di bekas kandang ayam belakang rumah. Setelah cukup lama, saya melihat Emak datang sambil membawa bungkusan besar.
“Apa Mak?” sambil membantu melatakkannya di atas meja.
“Kue dari Bu Lurah”
“Mak…saya tadi mencari-cari Emak, kamana?”
“Ini, mengambil kue dirumah Bu Lurah”
“Beli Mak?”
“Tidak, di kasih cuma-cuma sama beliau”
Saya kemudian mengambil piring-piring di almari, sudah cukup lama piring-piring itu tidak pernah dipakai. Setelah mencucinya saya kembali lagi kepada Emak yang sibuk mengeluarkan macam-macam kue itu.
“Mak, saya tadi ngutang beras di warungnya Yu Jah!”
“Oh…saya sudah ketemu kok sama dia’’ emak sepertinya tidak memperhatikan omongan saya, masih saja sibuk menata kue-kue itu di atas piring. Seorang ibu menghampiri saya dan Emak di meja itu. Memberikan bungkusan, lalu menyalami Emak, sambil berbicara sebentar setelah itu keluar lagi.
“Itu siapa Mak?”
“Itu teman kecil Mak, tapi sekarang tinggal di kampung sebelah”
“Mak, Yu Jah tadi marah nggak?”
“Kenapa?”
“Masalah beras?”
“Tidak, bahkan dia tidajk mau menerima ungnya saat mau Emak bayar”
Saya terdiam, kenapa semua orang di kampung ini berubah baik, benar-benar seratus delapan puluh derajat perubahan mereka. Dulu saat kematian Bapak, tak seorang pun yang mau melayat, sampai-sampai beberapa wartawan yang meliput-lah yang memakamkan Bapak. Saya benar-benar heran, mungkin kalau tidak dibantu Haji Nandar dan santrinya serta para wartawan, Bapak tidak dikubur saat itu.
Saya jadi teringat saat itu, saat tiba-tiba saja nama Bapak menjadi sangat terkenal, beberapa Koran menuliskan berita tentang Bapak, Radio menyiarkan tentang Bapak bahkan televisi memuat foto-foto Bapak. Tapi berita-berita itu membuat kampung ini geger, membuat Emak menangis setiap hari dan membuat saya hampir bunuh diri. ‘Empat dari tujuh kawanan teroris tertangkap’ itu koran pertama yang saya baca saat itu. Kemudian ‘Tiga diantaranya tertembak mati saat kontak senjata dengan petugas kepolisian setempat’. Saat itu saya hanya bisa menangis karena foto yang terpajang jelas-jelas Bapak, nama dan tempat asalnya-pun sama. Saya tidak yakin saat itu, Bapak pergi merantau memang sebagai TKI illegal, tapi apa mungkin Bapak menjadi teroris? Pertanyaan itu sampai sekarang belum terjawab.
“Ini dibawa kedepan!”
Saya sangat terkejut oleh uacapan Emak, lalu saya cepat-cepat mengambil piring itu dari tangan Emak. Oh…Emak, baru kali ini senyum bahagia itu kulihat lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja aku mencium pipinya, mungkin ini ucapan syukurku. Emak hanya tertawa sambil mengusap rambutku.
“Sudah sana!”
Saya membawa kue itu keluar. Lagi-lagi saya kaget, dinding penyekat itu kini telah hilang. Ruangan itu kini telah menjadi satu, rumah joglo itu kini seolah-olah menjadi aula yang kokoh dengan delapan tiang besar kayu jati berdiri kokoh ditengahnya, bahkan lebih luas dari aula kelurahan. Saya juga melihat ada dua buah pengeras suara didekat Pak Lurah. Ada seseorang yang sedang mengabadikan acara itu, tapi siapa lelaki muda yang beberapakali menjepretkan kameranya kearahku. Apalagi seingat saya kami tidak mengundang juru foto.
“Le..sini!”
Sepertinya Pak RT. memanggil saya, saya menghapirinya, menyalaminya dan juga beberapa orang disekitar Pak RT. itu. Saya duduk disampingnya.
“Pak Lurah, inilah putra satu-satunya almarhum”
Saya menjabat tagan Pak Lurah sekali lagi, lelaki setengah umur itu tersenyum kepada saya.
“Tidak pernah kelihatan kemana?”
“Anu Pak, masih study”
“Kuliah?”
“Iya Pak”
Saat saya sedang berbicara dengan Pak Lurah, beberapa kali lelaki yang membawa kamera itu menjepret saya. Dia lalu menghampiri saya. Saya baru tau kalau dia itu wartawan setelah membaca tulisan kecil didada kanannya. Sebenarnya saya ingin mengusir lelaki itu, saya tidak suka nama Bapak diusik-usik lagi, dijadikan berita lagi.
Acara akan segera dimulai karena sudah hampir setengah delapan. Haji Nandar, memegang mikrofon, membukanya dengan bacaan Basmalah dan ucapan syukur. Emak yang baru datang mengambil tempat duduk diantara aku dan Haji Nandar, benar Emak memang bahagia saat itu. Beliau terlihat sangat cantik dengan kerudung merah jambunya.
“Sebelum acara kita mulai, marilah kita mendengarkan sebentar saja apa yang akan di katakana Pak Lurah”
Haji Nandar memberikan mikrofon itu pada Pak Lurah. Semua tamu duduk bersila, mata mereka memandang kearah Pak Lurah semua. Tak henti-hentinya wartawan itu memotret, tamu, Pak Lurah, Haji Nandar, Emak dan hampir semua yang ada didalam ruangan itu tidak luput dari lensanya. Sementara Pak Lurah mulai membuka kata-katanya dengan ucapan syukur dan terima kasih atas kehadiran para tamu dalam acara seratus harinya Bapak itu. Pak Lurah mengeluarkan secarik kertas dari dalam dalam kantong safarinya.
“Begini saudara-saudara sekalian, ada satu lagi berita yang mungkin akan menggegerkan kita sekali lagi”
Saat mendengar ucapan Pak Lurah itu, suasana tiba-tiba saja hening, tidak satupun ada yang berbicara bahkan ada beberapa yang menahan batuknya. Saya terdiam, memikirkan apa yang akan diucapkan Pak Lurah. Pak Lurah memandang kearah saya dengan senyum lebar, kamudian memandang Emak, juga masih dengan senyum yang sama.
“Saya baru saja mendapat surat dari kantor kepolisian, ceritanya panjang saudara-saudara sekalian, surat ini asalnya dari Karto”
Pak Lurah menghentikan kata-katanya, seolah memberikan kesempatan memikirkan siapa Karto itu, termasuk saya yang juga berpikir keras mengingat nama Karto. Ya…saya ingat, Karto adalah lelaki yang mengajak Bapak kerja keluar negeri, tapi saya lupa wajahnya karena saya bertemu terakir sekitar tiga tahun lalu. Saya memandang Emak, matanya berkaca-kaca lalu saya menggenggam tanganya. Sepertinya Emak teringat Bapak, lalu kulihat Haji Nandar membisikkan sesuatu pada Emak, mungkin ucapan supaya tetap tabah.
“Mungkin diantara kita lupa siapa Karto, tapi saya hanya sekedar mengingatkan. Tiga tahun lalu Karto berangkat bersama Almarhum. Dan isi surat itu sangat mengejutkan seluruh perangkat desa serta pihak kepolisian yang mengantarnya pada saya tadi siang”
“Isinya apa Pak?”
Seorang lelaki tua sepertinya tidak sabar menunggu ucapan Pak Lurah selanjutnya.
“Iya, saya akan membacakan surat yang sebenarnya ditujukan kepada istri almarhum. Kepada yang terhormat Mbak Yu Marto. Asalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mbak Yu yang terhormat, Pertama-tama yang saya ucapkan adalah, Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, sekali lagi maafkan saya Mbak Yu!”
Saya melihat kearah Enak yang duduk disamping saya, matannya meneteskan air mata. Saya ikut bersedih dan dada ini tersa sangat sesak, ingin rasanya sanya meninggalkan tempat itu. Namun saya tahan semuanya. Apalagi tangan Emak menggenggam tangan saya dengan erat.
“Mbak Yu, saya baru beberapa hari yang lalu mendengar berita mengenai Kang Marto, dan saya merasa sangat terpukul. Saya langsung tidak bisa tidur beberapa hari. Mbak Yu yang terhormat, yakinkan kepada semua orang bahwa suami MbakYu bukan teroris”
Pak lurah tidak melanjutkan membaca surat itu, lagi-lagi beliau memberikan kesempatan kepada semua yang datang untuk saling berbisik. Setelah semua kembali tenang dari kegaduhan spontan itu Pak Lurah melanjutkan membaca surat itu. Mungkin yang paling penasaran adalah Emak dan Saya.
“Mbak Yu yang terhormat, kejadiannya sangatlah panjang. Hari itu kami sedang bekerja di ladang sawit, namun ada operasi penertiban, saya dan beberapa teman lalu lari kehutan agar tidak tertangkap. Tapi Kang Marto menghilang, mungkin Beliau tersesat. Baru kemarin saya membaca dikoran bekas bungkus pakaian seorang teman dan melihat berita itu. Mbak Yu yang terhormat, tabahkanlah hatimu, suamimu adalah orang terbaik yang pernah kukenal. Dan sekali lagi saya meminta maaf. Dalam minggu ini saya akan segera kembali kekampung dengan beberapa teman yang lain. Mungkin kami bisa menjadi saksi bahwa Kang Marto bukanlah seorang teroris seperti yang ada dalam berita. Sekali lagi tabahklanlah hati Mbak Yu, dan maafkan saya. Hormat saya. Karto.”
Emak langsung menagis tersedu, lalu bersujud. Dada saya tersa sesak, mungkin terlalu bahagia dan tidak terasa saya meneteskan air mata.
“Bapak, maafkan kami” ucapan lirih keluar dari bibir ini tanpa terasa diantara riuhnya para tamu. Saya membangunkan Emak dari sujud syukurnya, lalu memeluknya dengan erat. Beberapa ibu-ibu mendekat pada Emak dan memeluknya. “Terima kasih Ya Allah, Terima kasih Ya Allah” berkali-kali Emak mengucapkan kata-kata itu sambil mengusap air matanya.




Sanggar Misteri Darikem, Blitar Desember 2004.









Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "SERATUS HARINYA BAPAK"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress