Pemuda Wangi dan Anak Tukang Sate


Pemuda Wangi dan Anak Tukang Sate


Cerpen By Endik Koeswoyo



     “Menikah?” Sambil tersenyum pemuda lusuh, lelah dan kucel itu mencoba tersenyum, mengulang lagi pertanyaan yang diajukannya padanya. Tampak ada kantung mata dimatanya yang memerah karena lelah dan kantuk yang sudah merajalela.

     “Berani?” tanya pemuda gagah, wangi, tampan, sepatunya mengkilap, sambil membetulkan letak jam tangan model Aquanet bermerk Patek Philippe di lengan kirinya itu.

     Pemuda lusuh itu tersenyum, mengangguk, “InsyaAllah, semoga disegerakan...”

     Pemuda wangi menatap anak tukang sate, sahabatnya sejak dari  masa kecil dulu. Lebih tepatnya anak tukang sate yang menumpang jualan sate didepan trotoar rumah mewah milik pemuda wangi. Di lahan milik keluarga pemuda wangi itulah, anak tukang sate tumbuh dan dewasa membantu ayahnya sejak jaman kanak-kanak hingga kuliahnya hampir lulus sekarang ini. Oh ya pemuda wangi itu bukan orang sembarangan, lihat saja, beberapa meter dari tempat mereka berdua duduk itu, tampak gapura rumah megah, rumah mewah 3 lantai, mobilnya ada 5 buah dari Mercedes Benz 250 S model 1966, yang konon katanya di beli dari mantan pemain bass Rolling Stones, Bill Wyman seharga lebih dari 25 pounterling sampai BMW seri 7 terbaru. Lebih jauh lagi, pemuda wangi adalah putra tunggal seorang pengacara kelas wahid di negeri ini.

     Begitulah mereka, sesekali waktu dalam beberapa bulan, pemuda wangi memang menyempatkan diri singgah di warung sate trotoar jalan, di ponjokan paling ujung pagar rumahnya. Seperti malam ini, pemuda wangi menyempatkan diri singgah di warung sate yang sudah sepi pembeli, maklum waktu sudah menunjukkan pukul 03.22 waktu Indonesia bagian barat. Sebagaimana mestinya, orang sudah istirahat, anak penjual sate masih menunggui sisa dagangannya yang masih 3 porsi lagi, berharap ada pembeli. Berbeda dengan pemuda wangi, dia baru saja pulang kelayapan, nongkrong di cafe dan kongkow-kongkow menghabiskan uang jajannya yang tak habis-habis. Pemuda wangi beranjak, meninggalkan anak tukang sate. Langkahnya gontai, entah ngantuk entah mabuk. Dia masuk ke dalam pagar yang seperti otomatis terbuka oleh satpam rumah yang sedari tadi sudah standby menunggu di depan pagar.

Anak tukang sate mencoba berkemas, sepertinya pembeli tak akan datang. Dia membuka kotak laci penyimpanan uang. Tangannya lincah menghitung uang yang sudah tertata rapi. Sekilas, uang di tangannya dibagi menjadi dua bagian, hasil jualannya tidaklah sedikit, omsetnya mencapai satu juta lebih 700 ribu. Jika dikalkukasi, dia bekerja bersama orang tuanya tanpa karyawan, tidak membutuhkan pengeluaran gaji, tiap hari dia mendapatkan untung  700 ribu dari jualan, karena modal untuk daging, bumbu dan nasi serta minuman yang dia jual di warung gerobak itu rata-rata 1 juta. Artinya pemuda lusuh, kucel dan mengantuk itu bisa mendapatkan penghasilan sebulan sekitar 15 juta, hampir sama dengan gaji seorang manager bank yang dandanannya mentereng. Mungkin begitu. Pagi itu, dia memutuskan pulang setelah melipat tenda, dan membereskan semuanya.

Ini adalah cerpen, jadi harus pendek ceritanya. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, pemuda wangi dan Anak tukang sate bertemu disebuah rumah sederhana, kaya tidak, miskin juga tidak. Mereka duduk bersebelahan, di depannya ada sepasang suami istri yang sudah paruh baya, sekitar 57 tahun usia mereka. Sang Bapak bertanya, “kalian berdua sama-sama ingin menikahi anak saya? Anak saya hanya satu, sedangkan kalian berdua, saya jadi bingung harus memilih yang mana... silahkan besok datang ke sini lagi... akan kami berikan jawabannya...” pemuda wangi dan anak tukang sate pamit undur diri.

Di ruang tamu, sang Ibu berbisik pada suaminya, pilih saja pemuda yang wangi itu Pak, dia kan anak pengacara kondang, hartanya tak habis 7 turunan,” bisik sang istri. Sang Suami menatap keluar pintu, di luar pintu, di pinggir jalan yang tidak begitu luas tampak pemuda wangi naik mombil mewahnya yang sudah lengkap dengan sopirnya. Anak tukang sate tampak masih berdiri, menunggu angkot yang lewat.

Dari balik tirai jendela kamar, tampak tirai dibuka sedikit, sosok gadis ayu rupanya juga mengintip dari sana. Dia menatap kepergian pemuda wangi, kemudian pandangannya kini tertuju pada anak tukang sate yang menghentikan angkot kemudian dia naik ke angkot. Gadis ayu itu tersenyum. “Keduanya tidaklah berbeda... yang membuat berbeda adalah yang kelak menjadi suamiku... tapi siapakah yang dipilih Ibu dan Bapak?” Gadis ayu menarik nafas panjang, dia tersenyum lalu menutup tirai jendela kamarnya...

Di ruang tamu, Gadis ayu muncul mendekati bapak dan ibunya. Dia bertanya, “maaf bapak, dan ibu, siapakah gerangan yang ibu dan bapak terima lamarannya?” Sang ibu tersenyum. “pastilah pemuda wangi itu sayang, dia akan membuatmu bahagia, 7 turunan kau tak akan kesusahan..” Sang Bapak tersenyum. Sang anak mengangguk, “jika memang itu yang bapak dan ibu pilihkan, saya sebagai seorang putri akan menuruti saja,” kata gadis ayu sambil menunduk, menjaga sopan dan santunnya.

Sang Bapak duduk di kursi, “Aku lebih memilih anak tukang sate,” seperti dalam adegan sebuah sinetron, anak dan ibu menatap Sang Bapak... “Apa?? Bapak memilih pemuda itu?? Masadepan anak bapak ini, bapak pertaruhkan?? Mau ditaruh mana Pak Muka ibu?? Kalau punya menantu hanya anak tukang sate?? Bau apek, kucel bau asep?? Bapak tega melihat anak kita menderita jualan sate? Mendorong gerobak setiap hari jualan di trotoar jalan??” Sang Ibu tampak melakukan demo besar-besaran dengan perkataan sang Bapak.

Sang Bapak tersenyum, “aku tak ingin anak kita memilih suami yang salah, apa ibu lupa siapa aku dulu? Aku adalah anak Jendral, anak orang kaya yang hartanya juga tak akan habis 7 turunan. Karena itukan ibu mau menikah dengan aku saat itu? Karena harta orang tuaku tidak akan habis 7 turunan?? Tapi kenyataan apa sekarang? Setelah ayahku jatuh sakit, harta yang konon katanya tidak habis 7 turunan itu habis hanya dalam waktu 7 minggu untuk biaya pengobatan. Dan kita? Apa hidup kita bergelimang harta sekarang?? Tidak! Kenapa tidak? Karena aku dibekali warisan harta, bukan warisan ilmu... ibu lihatlah, anak tukang sate itu, dia dibali ilmu dagang, dia tau cara memuat sate yang enak, dan dia juga tau cara berjualan... harta pemuda wangi itu tidak akan habis untuk 7 turunan, tapi aku yakin anak tukang sate itu bisa menghidupi keluarganya kelak sampai 77 turunan, karena apa? Karena yang dia wariskan pada anak cucunya adalah cara untuk menjadi penjual sate yang baik dan benar, bukan cara untuk menghabiskan uang selama 7 turunan...” Sang Bapak menatap istri dan anaknya bergatian, sepertinya dia baru saja pidato panjang lebar. “Putriku, pilihan ada di tanganmu sendiri, kau pilih pemuda wangi atau anak tukang sate? Apapun pilihanmu akan ayah dukung....”

Sang anak menatap ibunya... “tidak ada sehelai daun yang jatuh tanpa kehendak Allah... Bismillah, saya sependapat dengan Bapak...” kata gadis ayu dengan yakin.

JRENG JRENG! Sang ibu terbelalak... kaget mendengar keputusan putri tunggalnya, dan BRUK.. Sang Ibu jatuh pingsan. 
Beberapa tahun kemudian, di sebuah warung sate sederhana, yang tidak begitu besar tetapi sangat ramai pengunjung, bukan lagi di trotoar jalan, anak tukang sate duduk di meja kasir. Saat itu dari arah luar warung muncul gadis ayu, dia sedang menggendong putra pertamanya, yang masih bayi. "Sayang... sudah waktunya pulang, ini anaknya udah kangen..." gadis ayu menyodorkan bayinya pada anak tukang sate yang sekarang sudah menjadi bos 7 warung sate sederhana, anak tukang sate langsung menyambut buah hatinya, dia pamit pada anak buahnya, "Mas Har, tolong nanti kalau sudah habis langsung tutup saja, saya pulang dulu... jangan lupa anak-anak yang lain dikasih uang makan... " sambil bicara, anak tukang sate mendongak-dongak bahagia, karena tangan si kecil, si buah hati menarik-narik janggut si anak tukang sate. "Say, coba lihat deh..." kata gadis ayu sembari mengambil koran yang sudah di potong-potong untuk bungkus sate. Di koran bekas itu, ada gambar sebuah rumah, dengan tulisan -DISITA NEGARA - sebuah head line berita terlihat jelas, pengacara kondang tertangkap tangan menyuap jaksa... anak penjual sate matanya berkaca-kaca... dia begitu hafal rumah yang ada di koran itu...
-- SEKIAN --

    


Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

16 komentar untuk "Pemuda Wangi dan Anak Tukang Sate"

  1. Cerpen yg bagus...sebuah pelajaran hidup bagi setiap manusia yg mungkin hanya melihat org lain berdasarkan hartanya.tanpa melihat apa yg bisa dperbuat dri uang yg ktanya bisa menghidupi sampai 7 turunan.

    BalasHapus
  2. Pesan moralnya dapet banget mas :) sukak

    BalasHapus
  3. Kalau di bikin film cerita pendek kayaknya bagus Nih

    BalasHapus
  4. Cerita menginspirasi banget kalau saya mungkin anak sana di bekali dengan menulis cerpen seperti anda pak
    Terima kasih pencerahannya

    BalasHapus
  5. Terimakasih sudah mampir dan membaca...

    BalasHapus

Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress