PSIKODRAMATIS

SATU



“Sedetik lalu aku juga diam, saat segumpal awan hitam menyapaku walau agak enggan, setelah itu aku tetap diam… Gaya bahasaku kaku, ndeso, susah dipahami..namun aku suka. Jangan dulu berpikir kalau aku bukan mahasiswa berarti aku berada dibawahmu….”

Sepenggal kata itu mengawali pembicaraan kami, semula aku merasa bahwa ‘gembel’ itu paling tak lebih dari temanku yang sok tau, berlagak dan merendahkan orang lain. Apalagi cara dia menikmati sebatang rokok yang kuberikan beberapa menit lalu, angkuh…

“Ndak usah nanya berapa umur saya, alamat saya, suku saya, apalagi agama saya! Jangan ikut-ikut orang atas mas, omongan dan perbuatannya jauh, coba lihat saja…katanya ndak nyinggung SARA, nyatanya umur berapa? Alamat? Agama? Dan bla…bla…yang lain? Gimana mau damai kalau agama masih jadi label’ katepe’, ndak usah heran kalau saya berani ngomong begitu, saya liar, angkuh dan sombong, tapi saya ndak lupa siapa saya? Saya juga pernah kuliah, pernah jadi tukang sablon, bikin spanduk, terakir saya…”

Lelaki yang umurnya tak jauh dariku itu diam, tak melanjutkan kata-katanya, seakan menunggu aku menyodorkan sebatang rokok lagi.

“Terakir saya terlibat beberapa kejahatan. Ya…tapi itu tak baik diceritakan”.

Dia diam lagi, aku memposisikan diri untuk lebih dekat dengannya, memegang handycam merk ternama. Setelah kulihat lama dia diam kumatikan handycamku dan kusodorkan rokok lagi padanya. Apa yang ada dibenakku belum bisa terpecahkan oleh sedikit celotehnya tadi.

“Ok…kita lanjutkan lagi, dulu semasa kuliah aku paling depan saat ada demo, paling depan saat anak kampusku ribut dengan supporter basket saat pertandingan antar kampus. Itulah aku, walau aku tak ingin atau bahkan tak bercita- cita jadi preman tapi keadaan memaksaku untuk melawan nasib. Apakah kamu pernah menawarkan diri pada seorang nenek tua? apa kamu pernah rasa laparmu terbawa kealam mimpi? Lapar mas…!?? Sering dulu saat aku merasa lapar aku tidur tapi sedetik mata terpejam aku bermimpi dapat makanan, lalu aku bangun karena bahagia ada makanan, ee…ternyata saking laparnya sampai aku hanya bisa mimpi, untung kalau dalam mimpinya makan, lha itu aku belum makan sudah keburu bangun he..he…”

Aku terdiam saat dia menceritakan itu, aku tau kalau rasa lapar memang bisa membawa kita kesegala arah jalan yang ada, minta, maling, ngrampok, bahkan membunuh hanya untuk sesuap nasi basi. Tapi kalau saja Tuhan tidak menciptakan hal semacam itu apa kita juga bisa makan…

“Anu mas ya…! Saya hanya ingin menceritakan sedikit saja lagi, itupun kalau mas mau mendengar, kalau tidak ya ndak apa-apa!”

Kemudian ‘gembel itu’ memposisikan dirinya agar tampak lebih gagah, membusungkan sedikit dadanya dan tatapan matanya seakan dipertajam beberapa watt lagi, aku hanya tersenyum dalam hati.

“Dulu mas…saat saya merantau ke Kalimantan, lalu ke Sumatara, nyebrang ke Batam dan Malaysia, saya mendapat banyak pengalaman. Pernah suatau hari saya bertemu beberapa orang yang mengaku cinta tanah air, cinta bangsa, bela Negara dan tetek bengeknya itu, hampir saja saya menjadi orang jahat”.

Karena aku penasaran akupun lalu bertanya padanya.

“Kenapa mas..??”

“Saat itu saya sedang butuh uang, seseorang datang dan menawarkan sebuah pekerjaan, cuma disuruh membuang sampah…”

“Sampah?”

“Iya…Sampah dalam kantong hitam, saat aku masih berpikir tentang berapa bayaran yang kudapat, beberapa orang berpakaian preman langsung menodongkan senjata dipinggangku, begitu pula dengan lelaki tadi, kami dibawa sebuah kantor, entah apa nama kantor itu? Karena saat didalam mobil mataku ditutup kain hitam… Saat penutup mataku dibuka sudah ada beberapa orang yang mengintrogasiku, akupun menjawab apa adanya, aku sempat kaget saat mereka memberitau bahwa bungkusan plastik itu adalah bom. Setelah dua hari aku dilepas begitu saja, tapi ya gitu, dengan mata tertutup aku dilempar dari mobil, itu kenangan pahit tapi menyenangkan, bahkan kain penutup mata itu sampai sekarang masih ada.”

Dia menunjukkan sehelai kain hitam, sudah pudar memang warnanya, namun masih terlihat lipatan-lipatanya. Ah…cerita itu seakan dibuat-buat, tapi lumayan juga buat tambahan halaman berikutnya. Aneh…setelah menunjukkan kain hitam tadi dia diam, tatap matanya meredup tinggal satu setengah watt, dadanya tidak membusung lagi, lemah seperti kerupuk kena air, aku diam tapi aku suka gambaran wajah penuh kesedihan, tanpa dia perhatikan aku meng-close up wajah sedih itu, lumayan bisa buat sampul bukuku nanti, expresi kesedihan nyata, kesedihan akan masa lalu yang sudah mendekati klimaks, sedikit digerakkan saja, air mata pasti akan keluar dari matanya, dan akan mengikis debu di wajahnya, akan terlihat aliran air mata itu keruh. Saat aku sedang asyik dengan pikiranku, dia lalu berkata lagi.

“Jangan pernah percaya pada siapapun, apalagi aku, aku bukan orang baik, aku pencuri, pembunuh, pemerkosa, bajingan, asu, tak ada satu katapun yang tepat untukku selain itu. Seandainya kamu tau siapa aku, kamu pasti lari dari tempat ini dan tak mau menemuiku lagi, seandainya aku jujur siapa aku, hanya dengan memencet beberapa nomor dari hpmu kamu akan jadi orang kaya.”

Aku tak mengerti dari apa yang telah dibicarakannya, tapi akupun enggan untuk mencari tau, aku hanya tersenyum melihat wajahnya yang sayu.

“Terserah kamu mau pilih yang mana, tapi sudah tiga bulan ini aku tidak pernah bicara selama ini, kamu tau aku sempat gemetar saat kamu mendatangiku tadi, tapi aku tak menyesal bila kamu melapor polisi dan mereka menangkapku, aku sudah bosan dengan hidupku yang tak pernah tau dari mana dan akan kemana? Sudah banyak tempat kusinggahi, sudah puluhan bahkan ribuan gadis kugagahi, sudah takterhitung berapa uang yang akupunya, tapi apa aku puas? Tidak sobat. Aku tidak pernah merasa puas, aku tidak pernah merasa bahagia hidup diatas gelimang darah dan tangis orang lain.”

Tak tau kenapa aku mematikan handycamku, aku jadi tertarik dengan bualannya, ataukah aku sudah bosan dengan omongannya yang ngawur itu.

“Aku buron karena merampok nasabah bank, membunuh beberapa bos besar, ikut meledakkan beberapa tempat terkenal dan yang lainnya aku sudah lupa, banyak sekali kejahatan yang aku lakukan, kamu tau rambut ini berapa hari aku memanjangkannya?” Dia menyentuh rambutnya yang panjang tergerai, lebih dari sebahu. “Cuma satu minggu, seminggu yang lalu aku sibotak yang selalu naik mobil mewah, hari ini aku sigondrong pengamen jalanan, dua bulan yang lalu aku guru ngaji disebuah kampung yang aku sendiri sudah lupa namanya, setahun yang lalu aku mahasiswa perguruan tinggi, tiga bulan lalu aku wisatawan asing di negeriku sendiri, entah besok aku jadi siapa?” lanjutnya dengan nada semakin pelan.

Biarpun cara bicaranya seakan meyakinkan, aku tetap tidak mempercayainya.

“Aku yakin kamu tidak percaya dengan ceritaku, tapi lihat ini!”

Aku ter-nganga beberapa saat, dikeluarkannya segenggam ktp dari dalam tas kecilnya, beberpa kartu atm berbagai bank, lebih dari sepuluh pasport, seikat uang kertas berwarna merah seratus ribuan, lalu buru-buru dia memasukkannya kembali.

“Ya…itulah aku, namaku sendiri aku tak pernah tau,”

Dia berdiri dan menepuk pundakku, melangkah tanpa menoleh meninggalkanku tanpa pamit, padahal aku masih ingin melihat isi tasnya lagi. Aku hanya memandanginya sampai dia meloncat naik keatas bus. Aku belum beranjak dari tempat itu, lalu kuambil bungkus rokok yang ada disampingku, aku masih ingat kalau rokokku setidaknya masih ada satu batang. Saat kubuka ternyata kosong, namun dibalik pembungkus rokok itu ada sebuah tulisan ’rokokmu kubawa satu batang, kalo kamu ingin beli lagi ambillah bungkusan didalam keranjang sampah, disana ada sedikit uang, tapi kalau kamu nggak mau ngambil, maka uang itu milik anak jalanan atu pemulung’. Aku heran, kapan dia menulis kata-kata seperti itu? Karena penasaran aku mendekati tempat sampah dibelakangku, kuamati sebentar lalu sambil kubuang bungkus rokok itu aku melongok kedalam tempat sampah dan disana ada sesuatu yang dibungkus dengan plastik, lalu cepat-cepat kuambil dan aku kembali duduk ditempatku tadi. Aku masih ragu untuk membukanya, apalagi aku masih teringat tentang bungkusan plastik berisi bom yang dia ceritakan beberapa menit lalu, saat aku sedang dalam kebimbangan aku melihat mobil polisi melintas di depanku, aku melihat mata mereka tertuju padaku, aku hanya diam saja, menyiapkan kartu pers-ku, bila mereka mendatangiku. Aku memasukkan bungkusan itu kedalam tasku dan berlalu dari dari tempat itu dengan berjuta perasaan yang berkecamuk di dadaku yang rapuh ini.

Aku terus berjalan tanpa mempedulikan berjuta orang yang berpapasan denganku, aku teringat anakku, teringat belaian mesra istriku, teringat tawa kekasih gelapku, dan…boooom, teringat akan sebuah ledakan dalam film kolosal, lalu aku hancur berkeping-keping. Setelah sekian lama aku berjalan aku belum berani menyentuh bungkusan itu lagi, aku takut, sebenarnya aku ingin membuangnya saja, tapi seandainya itu benar-benar uang? Aku membayangkan beberapa lembar berwarna merah seperti yang tadi ditunjukkannya padaku. Seandainya itu bom? Aku akan mati, bukan aku saja orang-orang yang ada disekitarku, gelandangan, pengamen, pengemis, turis, bahkan polisi di pos jaga akan mati bersamaku. Seandainya itu benar-benar uang? Pasti jumlahnya tidak sedikit, aku bisa membantu beberapa temanku yang belum bayar kuliah, menyumbang sedikit untuk panti asuhan, kuberikan sebagian lagi untuk anak-anak jalanan, aku bukan orang serakah, tidak akan kubelikan mobil atau rumah, apalagi alkohol, pasti akan kuberikan kepada yang lebih membutuhkan. Saat pikiranku bergejolak, aku bertemu dengan seorang temanku, dia terlihat cantik hari ini, aku tersenyum padanya, lalu kamipun duduk disuatu tempat yang sepi, bercerita tentang apa saja yang bisa kami ceritakan. Parasnya yang cantik dan kulitnya yang bersih membuat aku lupa akan bom dan uang itu, aku hanya ingin bercinta dengannya bila sang malam telah menduduki mahkotanya sebentar lagi.

“Kamu terlihat aneh…kenapa?” Suaranya yang manja dan merdu, gerai rambutnya terbuai debu dan asap polusi, ah…buyar semua hayalanku.

“Biasa aja, aku memang orang aneh, orang yang suka membuat keanehan dan orang akan bertanya kenapa begini? Kenapa begitu? Kok nggak gini aja?!” ucapku sekenanya.

“Sejak bertemu denganmu aku seakan terbawa ke duniamu yang penuh hayalan, penuh ekspresi, penuh keinginan dan penuh coretan di dadamu.” Katanya setengah merayu.

“Ya…dan kamu hanya bisa memahamiku bila malam telah telah menjadi raja, bila baju hitam ini telah kulepas, bila pena ini tidak lagi ditanganku, kau akan bisa menemukan tentang aku, tentang hatiku, dan tentang apa saja yang kamu mau.”

“Nah…disitulah letaknya, kenapa aku tak bisa lepas memandangmu, di alam nyata dan di alam bawah sadarku”.

Aku dapat melihat jelas dia tertawa, aku dapat merasakan dia bangga akan aku, aku? Siapa aku hanya malam yang tau...

“Apakah aku harus menunggu malam untuk bisa bertanya tentang apa yang kau pikirkan sekarang?”

Aku hanya bisa diam, saat tangannya yang lembut memegang tanganku, aku ingat lagi anakku yang sudah mulai belajar berjalan, tapi…gadis ini membawaku terbang hanya dengan sentuhan tangannya. Aku diam sambil memikirkan apa yang harus aku katakan.

“Aku tau, tapi jangan mencoba menghindariku dengan celoteh tentang anak dan istrimu, aku sudah membaca beberapa cerpen yang kau tulis tentang itu. Aku juga tau tentang ‘Tegar’ pahlawan dalam novelmu, aku sudah baca ‘Nyanyian Asing’ tentang istrimu, aku juga pernah membaca ceritamu yang lain, bagus, menarik, sedikit surealis, tapi kau tak akan bisa membuktikan bahwa semua itu benar, tentang istrimu? Dimana dia sekarang? Tentang anakmu? Mana fotonya? Kau disini tak punya siapa-siapa kecuali aku yang menyayangimu!” pertanyaannya menusuk-nusuk kedalam hatiku.

Aku hanya memandang bibirnya yang memerah, sedikit basah dan…aku lalu menunduk, membayangkan berada diatas ranjang bersamanya, mendengarkan lagu sendu, dengan secangkir bir dan es, kentang goreng, dan membelai rambutnya yang sedikit basah oleh keringat.

“Hai…aku bicara padamu, bukan pada pada orang bisu!” hardiknya.

“Aku suka kalau kamu marah, bisa lebih expresive dalam mengeluarkan pendapat, jujur tanpa edeng aling-aling. Ibarat wanita seksi, ungkapanmu tanpa tertutup sehelai kain, memukau dan langsung pada sasaran. Nafsu pria,” sebenarnya aku sempat terkejut, tapi bisa kututupi dengan sedikit gurauanku itu, padahal apa yang dikatakannya tadi tidak masuk keotakku sama sekali, malah raganya yang menggedor-gedor pikiranku. Malah belahan indah didadanya yang tajam menusuk dan merasuk kesendi-sendi tubuhku yang bergetar.

“Ayolah sayang, jangan menyembunyikan sesuatu dariku, apa yang kamu pikirkan sekarang?”

Aku bingung harus bagaimana lagi, aku hanya diam lalu menyalakan sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam menikmati pertanyaannya itu.

“Aku berharap kamu tidak akan menyesal bersamaku, aku sudah berkata jujur semua tentang siapa aku? Tentang masa lalu bahkan masa depanku sudah pernah kuceritakan padamu, aku adalah seorang aku yang mengidap psikodramatis,” ungkapku pelan.

“Aku tidak menganggap itu suatu penyakit, tapi itu adalah karuania, dimana kamu bisa menuangkan hayalanmu kedalam sebuah bentuk antara nyata dan maya, antara ada dan tidak, yaitu tulisan! Dan karena tulisan itulah aku jadi tergila-gila padamu, biarpun aku harus membaca berulang-ulang biar aku bisa masuk kedalam duniamu. Bahkan dari sebuah kejadian kecil, kamu bisa mengembangkan menjadi kejadian yang sangat besar, lebih menarik untuk diceritakan walau sedikit agak kaku. Aku bahkan sudah melihat tulisanmu yang telah menjadi film indie,” ucapnya lagi.

“Sudahlah, lagi pula naskah itu bukan ideku, sudah tidak murni dariku, sudah diubah hanya karena aku tidak datang, aku tidak diharapkan karena mereka tidak begitu menyukaiku,” ucapku menghindar dari masalah itu lagi.

“Aku tau, bahkan namamu tidak tertulis di ucapan terima kasih, tapi aku tau itu tetap ceritamu, aku tau judul itu adalah judul puisimu tentang kampanye partai kan? Aku tau itu ceritamu, aku menemanimu saat kau menulis untuk naskah itu, aku kau jadikan alat imajinasimu, aku kau baringkan seperti dalam adegan itu, aku masih ingat…jam tiga pagi kau bangunkan aku hanya untuk memelukmu dari belakang. Kau jadi aktor dan aku jadi aktris imajinasimu, aku juga ingat kau cium keningku setelah itu, aku ingat semua, tak banyak yang mereka ubah, adegan, cara bicara, bahkan kata-katanya sama, apa mereka tidak malu menggunakan naskahmu, lalu mengganti namanya begitu saja? Tanpa ijin, mereka itu siapa? Anak kemarin sore yang belum bisa berdiri dengan satu kaki,” katanya antusias.

“Sudahlah…kenapa kita membicarakan itu, lagipula itu juga salahku, aku terlalu egois?” ucapku seakan mengalah.

“Egois? tidak, kamu tidak egois, aku masih menyimpan enam naskah yang kau tulis dalam satu minggu itu, kusimpan semua, mereka saja yang tidak mau kau menjadi terkenal!”

“Apakah ketenaran akan membuat kita bahagia? Belum tentukan? Sudahlah, aku ingin kita bisa bersenang-senang malam ini,” Aku kadang berpikir kenapa gadis ini begitu sayang padaku, begitu peduli, bahkan -kalau aku tidak gr- dia begitu mencintaiku. Sesaat kemudian tanganku sudah berada dipundaknya, berjalan lagi diantara keributan kota, melihat manusia-manusia dengan segala kesibukannya. Melihat mereka saling tersenyum diantara dusta, dan…kita ternyata tak jauh berbeda. Kami terus berjalan menelusuri emper-emper pertokoan, sambil sesekali kulambaikan tangan pada teman yang kebetulan memanggilku. Sepertinya malam sebentar lagi akan datang, menguasai apa saja yang ada dibumi ini. Malam akan kembali menjadi sahabatku dan…aku melihat gadis cantik ini, membelai rambutnya lalu aku tersenyum saat matanya menatapku. Aku tau ada rasa rindu akan belaianku dihatinya, aku juga tau kalau dia sudah tidak sabar memandikanku dengan keringatnya, aku juga tau bahwa aku mengalami hal yang sama dengannya. Terbuai kedalam dunia maya, dunia hayalan yang sebentar lagi akan terwujud bila kami telah sampai dirumahnya, menunggu pembantu membukakan pintu, memberikan sedikit uang semir, semur, suap, atau apalah sejenisnya agar dia tutup mulut, dan menguncinya rapat-rapat sampai dia mati kelak, sampai malaikat menghancurkan mulutnya, sampai malaikat menusukkan besi panas kedalam mulutnya, lalu…bagaimana denganku nanti? Jelas…siksa yang kudapat adalah seratus juta kali lebih parah dari sang pembantu yang menerima uang suapku.



NASKAH Novel PSIKODRAMATIS BAGIAN SATU




APAKAH ANDA SUKA BERMAIN DNGAN INTERNET? JIKA IYA COBALAH KUNJUNGI LINK INI KARENA TERNYATA KITA BISA MENGHASILKAN UANG TAMBAHAN BAHKAN HINGGA PULUHAN JUTA RUPIAH HANYA DENGAN MELUANGKAN SEDIKIT WAKTU SAJA... TERBUKTI MUDAH DAN GAMPANG... ARAU SETIDAKNYA BERKUNJUNGLAH SEJENAK UNTUK MEMBACANYA! PENASARAN? KLIK DISINI DAN JADILAH ORANG SUKSES TANPA KITA SADARI...
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

3 komentar untuk "PSIKODRAMATIS"

  1. Wah dah mau keluar lagi nih mas novelselanjutnya....semoga sukses deh mas .... amin

    BalasHapus
  2. Loh.. Iki novel pertamaku je Kang... Piye kabare?

    BalasHapus
  3. Diijikan untuk copy paste tulisan ini dengan syarat sumber dan link download tidak di ubah.

    Sumber:
    http://penerbitonline.webs.com
    http://pionbanget.blogspot.com
    http://endik.seniman.web.id

    BalasHapus

Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress