Sengaja memang, Hijrahnya Cinta tidak begitu menggunakan banyak metafora. Novel Hijrahnya Cinta masih sangat jauh untuk di kelompokkan dalam jenis 'sastra sekuler' semacam AAC dan novel sejenis. Hijrahnya cinta, walau terkesan kaku dan munafik untuk dikatakan 'islami' namun saya lebih suka menyebutnya. Relisi Nasionlis, bukan Arabisasi atau kisah dengan setting Arab simbolik.
“Aku mengerti, aku menangis karena aku menyesal, dulu aku sempat bertanya kepada Allah, kenapa kamu harus menikah dengan Amel, bukan dengan Nisa? Ternyata ini jawabanya, pertanyaan yang aku pendam 5 tahun lebih terjawab sudah. Maha Adil Allah dengan segala takdir-Nya. Dan aku adalah umat yang terlalu terburu-buru untuk mencela keputusan-Nya...." Nisa menyeka Air matanya.
“Jalan hidup dan jalan cinta tidak pernah bisa dipisahkan. Keduanya sejalan dan searah, walau terkadang harus melalui jalan yang berbeda. Dalam setiap persimpangan, dalam setiap cabang jalan yang kita tempuh tidak selamanya indah. Cinta diawalai dengan pertemuan dan diakhiri dengan perpisahan. Hanya saja, cinta lebih rumit ketika sosok yang lain hadir. Perjalan dari satu titik ke titik yang lainnya tidak selalu sempurna seperti apa yang kita harapkan, namun kedua titik itu telah menjadi garis mistis dari Sang Pencipta. Garis takdir yang kita tidak pernah tau, apakah garis itu lurus ataukah sebuah garis yang berliku,” ucap Arif pelan sembari menyeka air mata Nisa.
HADIRI:: GREAT LOUNCING Hijrahnya Cinta
Minggu 09 November Pukul 19.00 WIB sampai selesai.
10th JOGJA ISLAMIC BOOK FAIR 2008
7-13 November 2008
Mandala Bhakti Wanitatama
Posting Komentar untuk "HIJRAHNYA CINTA"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...