7 Jam Di Polsek

Aku, Penyidik, Pak Arwi, Rudi

Pak Dwi dan kawan Polisi




7 Jam Di Polsek

(Kisah Dari Pada Hilangnya Motor Itu..)

Jam sebelas siang aku baru berangkat ke kantor. Paginya aku memilih untuk membaca buku 30 tahun Indonesia merdeka terlebih dahulu, menelusuri jejak para pejuang yang gigih membela bangsa ini. Hari juma’at, tanggal 11 April ketika Adzan mulai di kumandang di Masjid Mubarok dan pria-pria bersarung berjalar ke hilir menuju kearah Masjid aku bergabung bersama mereka. Satu hal yang masih terus aku ingat dari sekian banyak yang disampaikan dari pada Kutbah Khatib di siang hari yang panas itu adalah tentang seorang tua yang berusia 70 tahun. Pria 70 tahun itu sedang sakit, tidak bisa kencing beberapa hari belakangan, lalu dia memerikasakan diri ke dokter, di lakukanlah operasi keicl hari itu juga. Setelag operasi beberapa menit, Pak Tua bisa kencing dengan normal. Kemudian dokter menyerahkan sebuah reseb dan biaya berobat. Melihat biaya yang disodorkan Dokter, Pak Tua menangis tersedu. Kalau di jabarkan lebih panjang begini kisahnya;

“Kenapa bapak? Apakah biayanya terlalu mahal? Saya bisa memberikan potongan sekiranya Bapak tidak memiliki uang sebanyak ini,” ucap Dokter bijaksana.

“Bukan, bukan masalah Uang itu wahai Dokter yang baik hati,” sahut Pak Tua sambil menyeka air matanya.

“Lalu apa yang membuat Bapak menangis? Bukankan penyakit Bapak sudah sembuh? Tinggal meminum obat ini untuk pengobatan lebih lanjut?’’ kata Doker itu lagi sedikit bingung.

“Saya sedang berpikir, Betapa Allah itu maha pengasih kepada umatNya. Dokter, usia saya 70 tahun, sehari saya kecing minimal 3 kali. 76.650 kali saya kencing selama hidup saya jika saya sehari hanya kencing 3 kali. Dua hari saya tidak bisa kencing rasanya sudah begitu menyakitkan dan saya harus membayar Rp. 1.200.000,- untuk bisa kencing kembali. Dokter bisa membayangkan kalau untuk kencing sekali kita harus mengeluarkan biaya segitu?” lanjut Pak Tua semakin tersedu.

Dokter terdiam, melihat pasiennya yang menunduk bersyukur. Dalam hati Dokter itu, dia mengucap sykur ke hadirat Allah karena dia lebih tau betapa banyak organ-organ tubuh yang di berikan oleh Allah kepada Manusia dan jika satu saja rusak, maka akan mempengaruhi semuanya. Dan Allah tidak pernah meminta kepada umatNya ganti rugi.

Ya, kembali pada diriku yang kini merenung di depan kantor sambil membayangkan betapa Allah memang benar-benar Maha segala-galanya. Aku bersyukur bisa hidup disini, dengan gaji Rp. 400.000,- dengan bekerja paruh waktu. Aku terkadang mengeluh dengan gaji kecil itu. Bayar kost, makan, minum, rokok, bensin jelas itu tidak cukup. Tapi Allah memberiku anugrah terindah dan aku bisa menulis, setidaknya itu bisa menopang kehidupanku.

Siang berlalu dengan cepat, aku kembali beraktivitas seperti biasa. Jam 2 siang aku makan di warung kecil di depan SD, tak jauh dari masjid yang tadi. Selesai makan aku langsung kembali keruanganku lagi. Gelisah, memikirkan akan kejadian Pak Tua dan Dokter, lalu aku menjuhut sebatang rokok dan menuju keluar, menuju kursi kecil didepan kantor kesayanganku.

Sebatang rokok telah aku jepit dengan jari tenlunjuk dan jari tengahku. Kurogoh saku kantong celanaku untuk mengambil korek apai kesayanganku. Namun tanganku tiba-tiba menjadi kaku. Kakiku lemas dengan tiba-tiba.

‘Motor!? Motorku kemana?’ Aku merogoh saku celanaku, kuncinya masih rapat di genggaman tanga kiriku.

‘Ya Allah, mungkin aku tidak bersyukur atas anugrahmu. Maafkan hambaMu yang selalu berbuat dosa ini,’ gumanku lirih kala aku benar-benar sadar bahwa mootorku telah raib.

Ya aku sadar motor yang aku parkir disebelah selatan kantor kecilku lenyap, menyisakan bekas tetesan bensin dari karburatornya yang belum sempat aku perbaiki. Ya, hanya lingkarang kecil berwarna gelap yang tersisa. Aku masuk ke kantor.

“Mas, Mas Wiwid kok motorku nggak ada ya?” ucapku sedikit gusar.

“Ah yang bener!?” tanyanya tidak begitu yakin.

Aku tidak menjawab, aku keluar untuk memastikannya sekali lagi. Ya, memang benar motor itu tidak ada. Raib dab aku sadar benar kalau motor itu ilang. Mas Wiwid membantuku memastikan, benar tidak ada. Aku emminjam motor Pak Arwi yang juga teman satu kantorku. Aku menyisir Jalan Tukangan ke selatan, lalu kearah Jalan Mas Suharto, Jalan Mataram dan memutar balik hingga jalan Hayam Wuruk hingga Stasiun lempuyangan dan kembali lagi kekantor. Mas Wiwid terlihat sibuk bertanya ke tatangga sekitar dan beberapa penjual yang ada di sekitar kantorku. Aku kemudian menemui Mas Nuri anak pak RT di linkungan kantorku itu, memutar ke arah selatan lalu ke Polsek Danurejan untuk membuat laporan kehilangan.

Oh ya, aku akan menceritakan soal motor itu. Motor grand tahun 1996 itu sebenarnya bukan milikku, motor itu penuh sejarah bagiku. Aku sering memakainya ketika SMU dulu. Motor itu milik Rival yang teman sekolah dan tetanggaku waktu di Blitar. Ketika kami sama-sama kuliah di Jogja persahabatan yang indah itu berlanjut. Yang membuatku begitu ingat dengan motor itu adalah karena sejarahnya sangat panjang. Setidaknya ada 2 kenangan utama yang tidak bisa aku lupakan.

1. Motor itu aku naiki dari Blitar ke Jogja dengan jangka waktu lebih dari 11 jam. Maklum aku dan Rival saat itu naiknya pelan dan sedang musim hujan. Tapi itu kenangan manis selama di dalam perjalan menyisir kota demi kota.

2. Ketika sudah di Jogja –awal tahun 2007- motor itu di gadaikan oleh seorang teman, namanya AING, aku ga tau nama sebenarnya siapa. Yang aku tau, Aing itu suaminya Fitri, Fitri itu kakak kelaskudi kampus. Konon Si Aing ini ngajak Rival bisnis MLM atau apalah namanya. Motor grand itu di gadaikan 1,5 juta dengan bunga 10% perbulannya. Tiba-tiba saja Aing kabur entah kemana. Ngilang bagai di telan bumi. Motor sudah 2 bulan di pegadain ilegal itu. Lalu aku dan Rival bingung karena karena terus berbunga. Untung dua buah novelku terbit saat itu. 2 Novel itu di hargai 3 juta. Dan dengan 2 novel itulah aku menebus motor yang digadaikan. Dengan bunga Rp.300.000,- . Dan aku menebusnya, sehingga aku berhak mengunakan motor itu.

Kembali ke hari Jum’at, dimana tragedi lenyapnya motor grand itu. Ya, aku kini duduk di kursi panas, di hapanku setidaknya ada 3 polisi yang meng-introgasiku, meminta keterangan dan penjelasan. Aku bilang mereka ramah dan baik. Setelah ku telpon, Rival datang dengan Rudi. Aku gelisah, tapi aku masih bisa tersenyum dan bercanda dengan beberapa polisi. Mereka tampaknya juga ingin menghiburku. Mas Nuri yang mengantarku kini gantian mengantar beberapa polisi untuk mengecek TKP. Aku masih di kursi yang sama, duduk sambil mendengarkan pembicaraan para polisi itu melalui radio panggil khusus yang ada dibelakang meja. Aku tidak begitu mengerti tentang apa yang mereka katakan, yang jelas mereka berusaha memantau motorku yang hilang dengan menyebutkan ciri-ciri hingga nomer rangka.

3 jam lebih aku duduk dan ngobrol ngalor ngidul hingga akirnya aku dipanggil keruangan kusus untuk membuat berkas perkara. Yang mengintrograsiku namanya Pak Dwi, ramah dan menyenangkan. Menyodorkanku segelas air mineral, sebungkus rokok, dan aku merokok diruangan sempit itu sambil menceritakan kronologi kejadian. Obrolanku kemana-mana dengan Pak Dwi ini. Aku lalu menelpon Mas Agung, salah satu wartawan Kedaulatan Rakyat, obrolan itu begitu mengesankan. Santai dan rilek, aku iklas dan melupakan semuanya. Wawancara melalui hanphone itu berjalan lancar dan penuh canda, Pak Dwi memberiku kesempatan untuk menjawab beberapa pertanyaan Mas Agung sang wartawan. Setelah dirasa cukup, aku mematikan handphone dan melanjutkan pembicaraan dengan Pak Dwi. Dari obrolanku dengan Mas Agung, Pak Dwi sepertinya tertarik. Hingga pada satu titik pak Dwi dan aku membicarakan soal Letkol. Untung.

Aku dengan semangat menjelaskan siapa itu Letkol Untung padanya –menurut apa yang aku tau-. Aku mengatakan kalau Untung sebenarnya bernama Kusman dan dia lahir di Solo.

“Bukannya Untung orang Kebumen?” tanyanya antusias.

“Saya juga berpikir begitu Pak, ternyata dia orang Solo. Istrinya Kebumen. Bapaknya Untung itu namanya Abdulah, seorang buruh yang kerja di toko peralatan batik di Pasar Kliwon Solo,” lanjutku sambil menghisap rokok pemberiannya.

Udara semakin pengap dari ruangan 3 kali 3 meter itu. Obrolan terus berlanjut, dia menghentikan gerak tangannya yang sedari tadi mengetik berkas kasusku.

“Bukannya kok namanya Untung Sutopo Bin Syamsuri?” tanyanya lagi.

“Oh, Samsuri itu pamannya, dan sejak kecil Untung itu diasuh oleh pamanya itu, nah ketika Jepang masuk, Untung masuk Heiho dan menajdi tentara. Pada tahun 1948 dia bergabung dengan batalyo Sudigdo di Wonogiri. Setelag peristiwa Madiun, Batalyon ini dicurigai disusupi Pki, nah Untung dan kawan di pindah ke Lereng Merbabu. Tapi Untung malah ke Madiun untuk bergabung dengan teman-temannya di sana. Setelah peristiwa Madiun itu Kusman berganti nama menjadi untung dan masuk Akmil.dari Akmil Untung masuk divisi Diponegoro,” lanjutku cukup panjang.

“Ketemu Soehato di sana?” tanyanya lagi.

“Iya,” sahutku pelan.

“Kok kamu bisa tau sedetail itu?” tanyanya sesaat kemudian.

“3 tahun belakangan saya memang mencaro data Untung itu, dan 3 tahun itu jadilah sebuah buku,” kataku lagi.

“Oh ya? 3 tahun?” tanyanya seakan tidak percaya.

“Iya,” sahutku pelan.

“Mana bukunya?” tanyanya lagi.

“Ada,” sahutku lirih.

“Beli?” katanya sambil tersenyum.

“Besok saya antar kesini,” kataku matap.

“Ok saya tunggu, saya ingin baca!” ucapnya mantap.

Da begitulah, obrolan kami bukan mengenai motor yang hilang tapi malah kepada apa yang saya sebut sejarah yang harus di cari. Dan waktu berlalu. Aku selesai manjawab pertanyaan yang jumlahnya 3 lembar. Ketika berkas itu mau di print ternyat printnya macet dan aku serta Pak Dwi mengutak-atik itu printer hingga 30 menit. Kemudian dia mengambil air hangat segayung, meletakkan kotak tinta diatas air pana beberapa menit. Setelah di coba, berhasillah printer tua itu digunakan. Cukup menarik. Tangannya belepotan tinta printer.

Setelah aku, giliran Rival yang di mintai keterangan. Aku memilih kekamar mandi dan membuang semua penat ini dengan kencing. Aku ingat lagi kisah Pak Tua dan Dokter tadi siang. Ah, aku iklas. Mas yang ngambil motorku, aku iklas ambil saja. Aku bercermin, menatap wajahku yang kusut. Mencuinya dengan air dingin di kamar mandi itu. Aku ekmbali memandang cermin lagi. Aku iklas, ucap hatiku mantap. Aku akan mengannti motor itu jika Allah masih memberiku usia yang cukup dan rejeki. Aku masih percaya sepenuhnya dengan-Mu. Walau aku berpikir keras, dari mana aku dapat uang 6 juta untuk mengganti motor yang hilang itu? Dan bagaimana besok aku berangkat kerja? Setidaknya aku membutuhkan uang 10 juta untuk menganti motor yang hilang itu dan membeli motor bekas apa aja. Tapi dari mana? Makan saja masih bingung? Ah, aku tersenyum simpul di depan cermin. Aku masih sangat yakin Allah pasti meberi jalan.

Bayangan paling gilaku datang, ada seorang yang datang dan tiba-tiba memberiku uang 10 juta, tapi itu tidak mungkin. Jadi aku harus menulis lebih banyak lagi. Setidaknya 10 buku. Hahahhaha...aku tertawa, nulisnya gampang, penerbitnya mau nggak menerbitkan? Ah entahlah yang penting aku Iklas. Mungkin yang mengambil motorku juga butuh makan, aku juga sadar dan sering merasakan bagaimana rasanya kelaparan. Aku sering mengalami hal itu, bahkan bisa dibilang aku hidup dari rasa lapar dan aku bisa menulis novel juga karena lapar dan imajinasi bisa kemana-mana juga karena rasa lapar. Ya, terkadang aku bosan dengan sayur lodeh-nya Pak Man, aku bosan dengan nasi Kucing-nya Kang Yanto, tapi aku bersyukur masih bisa makan dan nggak nyuri, nggak koropsi atau setidaknya halal.

Ya, aku benar-benar telah iklas. Dua jam kemudian aku telah duduk di angkringan dengan Mas Hengky, salah satu polisi dan Pak Dwi yang tadi. Kami ngobrol panjang, melupakan semua tentang montorku yang hilang. Ngomongin apa saja yang menyenangkan. Sambil minum kopi dan di temani beberapa bungkus rokok. Mas Gatot salah satu temanku datang, ikutan nimbrung dan kamipun ngobrol sampai Rival keluar dari ruang introgasi –dia dimintai keterangan sebagai saksi dan selaku pemilik motor-. Ya, semua berusaha kami lupakan. 7 jam sudah aku berada di kantor polisi itu.

Setelah makan di angkringan samping kantor polisi itu, aku di antar Mas Gatot pulang ke kost dan Rival kembali ke kontrakannya di Jakal. Mas Gatot mengajakku mampir ke kampus untuk sekedar ketemu dengan teman-teman dan biar ga stress katanya.

Kami sampai di kampus. Ngobrolin soal acara baksos. Aku telah benar-benar melupakan soal motor yang hilang itu dan aku lebih asik dan lebih tertarik dengan aksi baksos anak-anak TAPAK –Team Pecinta Alam Kampus Akindo-. Malam itu malah memberikan banyak pengarahan, maklum aku lebih senior dan mereka meminta pendapat.

“Seadainya yang ingin kalian sumbangkan bukan bibit tanaman, kayaknya menyumbang ke panti asuhan lebih menyenangkan. Nggak usah banyak-banyak kasih aja buku-buku pelajaran, jauh lebih bermanfaat dan bla..bla...selanjutnya” ya...aku lupa semuanya.

Malam terus berlalu, bintang-bintang berkedip tiada henti. Aku tersenyum simpul. Ini ujian dari-Nya.

Aku bangun pagi-pagi. Ke kantor bareng Mas Wiwid. Di kantor kau bekerja seperti biasanya. Aku menyalaan komputer dan mengutak-atik desain poster. Sekali waktu aku chat dengan teman.

Teman: Lah kok bisa ilang?

Aku: Ya ndak tau bukan rejaki kali

Teman: Di Blogmu ada Adsensenya?

Aku: Ada, kenapa? L

Teman: Aku klik iklannya biar dapet dolar trus beli motor bekas ya J

Aku: Gubrak....Wekekekek....berapa tahun tuh dapet dolar?

Teman: Klo yang ngeklik seribu orang ya sehatun lah dapet motor baru. Hahahhaha....

Ya begitulah obrolan pagi itu. Aku iklas kok. Aku iklas.........Tapi bener juga, klo yang ngeklik 1000 orang dapet lah motor baru. Hahahha....Tuhan selalu ngasih jalan, tapi siapa yang mau ngeklik? Pertanyaan sederhana....

Yogyakarta, 12 April 2008, ketika Hujan turun dengan lebatnya.

::

Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

3 komentar untuk "7 Jam Di Polsek"

  1. yoooo mas endik...tak klik nyumbang sa SEN ...yuuuuuuuuuk eh btw ikhlas apa iklas...aduh njowo ne kumat..oya si njowo ga pernah di kasih makan ya....hayo,,,mati ga nanggung,,,,dipelihara ya ikan cupang nya...

    BalasHapus
  2. subhanallah... sing sabar yo mas... tak klik juga deh.. tapi yang mana ya yang di klik???

    BalasHapus
  3. tantгic massage is one of уour thumb аnd Indicator finger and
    gentlу ρulling on each οne. They are Ordinаrily for phonοgraph needlе intromіssion are along aгеas cаlled "meridians".
    wildness is the uѕe of power thesе leash, no
    other offеrings are madе. The famοus Sree Shukta of Rig-Vedа is mоnovular with Ρanchа Dashakshari Mantга
    of Sree Vidya proves that both are equаl in Index number finger tο squеeze on
    each toe. You nοw tantric massage energy healing techniques are not limitеd
    to nurses and other Healthcare professionals.
    When thіs was all through, and evеryone hаd a massаge lіving rоom .


    Feel free to visit my website; web site

    BalasHapus

Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress