Kamar Kecilku
Oleh Endik Koeswoyo
Satu tahun yang lalu, saat hujan mulai turun…dan aku terdiam disudut kamar, memandang sebuah foto ukuran kecil, ya…sebuah foto hitam putih dengan gambar seorang pejuang dengan baju coklat sedikit kusam.
Teringat lagi saat kapal-kapal tempur tentara Jepang menghujani kota itu dengan ribuan bom. Serentetan pertempuran telah dilaluinya dengan gagah berani, tidak sebutir-pun peluru yang mampu menembus dadanya. Dari kamar kecil ukuran 120 cm kali 40 cm ini aku selalu berdoa, semoga masih ada yang tersisa diantara kita, semoga masih ada yang mampu bercerita pada anakku tentang peluru yang menembus dadaku.
Tapi kesepiannya kali ini telah sampai pada tahap paling akut. Bahkan untuk melihat bayangannya sendiri saja sudah tidak mampu. Apalagi untuk berteriak dan menceritakan tentang pertempuran itu. Kegagahannya telah dibusukkan dengan tanah pertiwinya. Tanah pertiwi yang telah disiraminya dengan darah dan keringat teman-temanya. Tanah pertiwi yang menangis dan mengamuk saat Tuhan mulai murka.
Terkadang aku bertanya, kenapa semua manusia terlihat rakus dan menjemukan? Ataukah ini budaya kita? Budanya bangsa yang melupakan pertempuran kami mengusir Jepang? Inikah budaya kalaian yang telah melupakanku bahwa di sini, dari kamar kecil ini kami menyusun rencana untuk memukul mundur tank-tank Belanda dan sekutu?
Aku pejuang yang tidak meminta balas jasa. Aku penjuang yang tidak meminta bintang jasa, aku penjuang yang sama dengan ribuan sahabatku yang tidak aku kenal semua. Aku mereka itu tulus, berjuang untuk kalian. Untuk kalian yang kini berdiri angkuh tak mau lagi hormat pada Sang Merah Putih. Aku yang berjuang untuk kesatuan kalian yang kini punya bendera sendiri-sendiri dan lebih menghormati bendera partaimu dari pada merah putihku.
Satu tahun yang lalu, saat hujan mulai turun…dan aku terdiam disudut kamar, memandang sebuah foto ukuran kecil, ya…sebuah foto hitam putih dengan gambar seorang pejuang dengan baju coklat sedikit kusam.
Teringat lagi saat kapal-kapal tempur tentara Jepang menghujani kota itu dengan ribuan bom. Serentetan pertempuran telah dilaluinya dengan gagah berani, tidak sebutir-pun peluru yang mampu menembus dadanya. Dari kamar kecil ukuran 120 cm kali 40 cm ini aku selalu berdoa, semoga masih ada yang tersisa diantara kita, semoga masih ada yang mampu bercerita pada anakku tentang peluru yang menembus dadaku.
Tapi kesepiannya kali ini telah sampai pada tahap paling akut. Bahkan untuk melihat bayangannya sendiri saja sudah tidak mampu. Apalagi untuk berteriak dan menceritakan tentang pertempuran itu. Kegagahannya telah dibusukkan dengan tanah pertiwinya. Tanah pertiwi yang telah disiraminya dengan darah dan keringat teman-temanya. Tanah pertiwi yang menangis dan mengamuk saat Tuhan mulai murka.
Terkadang aku bertanya, kenapa semua manusia terlihat rakus dan menjemukan? Ataukah ini budaya kita? Budanya bangsa yang melupakan pertempuran kami mengusir Jepang? Inikah budaya kalaian yang telah melupakanku bahwa di sini, dari kamar kecil ini kami menyusun rencana untuk memukul mundur tank-tank Belanda dan sekutu?
Aku pejuang yang tidak meminta balas jasa. Aku penjuang yang tidak meminta bintang jasa, aku penjuang yang sama dengan ribuan sahabatku yang tidak aku kenal semua. Aku mereka itu tulus, berjuang untuk kalian. Untuk kalian yang kini berdiri angkuh tak mau lagi hormat pada Sang Merah Putih. Aku yang berjuang untuk kesatuan kalian yang kini punya bendera sendiri-sendiri dan lebih menghormati bendera partaimu dari pada merah putihku.
Posting Komentar untuk "Kamar Kecilku"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...