Segera Terbit: Doa Untuk Dinda

I. Pada Saat Dini…


‘Sebatang rokok yang kuhisap telah memasuki fase akut dan sebentar lagi akan mati, tapi aku masih saja sibuk merangkai kata demi kata yang sejak empat jam lalu sudah aku lakukan, menyusunnya menjadi bait demi bait dan jadilah sebuah kisah…Kisah pagi yang terbingkai embun. Untuk Dinda…ketika namamu terlantun, aku sepertinya terhanyut oleh sebait mantra mistis dari peradabadan masa lalu…’

Pagi benar-benar telah menggusur malam yang indah dengan ratusan bintang yang belum terjamah tangan-tangan manusia, kokok ayam jantan telah benar-benar mengusik si-jangkrik yang berdendang, katak-katak yang bersahutan di mana suara merdunya itu? Sedangkan Akram masih sibuk dengan mimpinya yang dituangkannya dan ditumpahkannya pada layar monitor Samsung 14 inci yang itu. Ada gelisah dalam relung hatinya, sementara adzan subuh belum juga terlantunkan dari sebuah mushola kecil di belakang rumah itu. Indah memang bila mengingat semua, namun spertinya ada rasa takut, Akram benar takut oleh mimpinya sendiri. Belum bisa dilupakan olehnya kenangan pahit, belum bisa dilupakan cacian merdu dari teman lamanya, apalagi kisah pahit beberapa bulan lalu.
Saat ini sepertinya pemuda itu berada pada arah yang salah, di depan sana bidadari cantik tersenyum manis, namun di belakangnya berdiri kokoh malaikat kematian seakan siap menjemputnya, menuntut balas akan dosa yang telah diperbuat dan siap menikamnya pada saatnya nanti dengan sebilah pedang yang penuh karat. Mencabik-cabik tubuhnya yang beku lalu melemparkannya ke perapian panas. Lalu mampukah Akram berlari dari Malikat itu? Ataukah dia akan mampu merengkuh bidadari ayu bergaun biru dengan bunga-bunga bakung di tangannya. Atau sekedar menyematkan adelweis di antara rambutnya yang basah? Tapi itu nanti.
Memang sepertinya terlalu berlebihan mengharap cinta tumbuh lagi dihati ketika hati itulah hancur dan remuk redam juga oleh sebuah kata cinta, apalagi yang membawa adalah pagi bersama senyumnya walau berselimut kabut tipis. Akram masih belum bisa lupa tentang mereka yang meninggalkannya setelah meneguk secangkir madu bercampur secawan anggur. Dari hati yang terselubung nafsu, Akram seakan terlempar begitu saja dan terjatuh di pelukannya kala pagi datang. Dulu sebelum Akram melihatnya di antara bunga-bunga batu dan dinginnya kabut lereng gunung Lawu, selalu saja Akram hanya bisa diam dan berhayal menemukan seseorang yang benar-benar mau menerimanya apa adanya. Akram tau, bahwasanya dirinya adalah pendosa tapi Akram masih mengharap embun itu diturunkan padanya dan akan menyimpannya dalam lubuk hati untuk selamanya. Bila ingat tentang kisah sedih dalam drama romantis atau kisah bualan seorang teman, rasa takut muncul begitu saja tanpa diundang. Ketakutan yang sangat.
Langit pagi belum begitu menguning indah, masih hiruk pikuk bintang berkdip riang. Angin masih membawa bulir-bulir embun dan tentunya dingin yang menusuk hingga tulang sunsum terdalam.
Akram tersenyum saat teringat kata-kata dari seorang sahabatnya ‘bila kamu tidak bisa mendapatkan cintamu yang jauh, maka kamu bisa mendapatkan cinta dari orang-orang yang ada di dekatmu’. Mungkin Tuhan telah menggariskan sebuah kisah untuk Akram, di mana dia harus melintasi jalan demi jalan lalu menyeberangi lautan dan menemukan cintanya di sini, di sebuah kota yamg indah walau Akaram hidup dalam kesendiannya. ‘Sebuah kota yang penuh kabut abstrak’ –kata seorang teman senimannya-. Jogjakarta, sebuah kota yang menyimpan sejuta legenda. Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan jauh sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indische setelah kekalahan Jepang.
Dari beberapa kota yang pernah disinggahi oleh Akram sepertinya telah tertambat pada sebuah hati yang semu. Dengan kemolekan wajah ayu, tinggi semampai laksana model kelas atas. Entah bagaimana nantinya akhir kisah ini? Tidak pernah kita sebagai hamba sahaya mampu mengetahui kisah kelanjutan hidup hanya dengan sekali kedip mata. Semua menjadi indah. Semua menjadi semakin terang dan jelas. Seperti embun yang tiba-tiba turun di atas gurun kering. Menimbulkan kamoflase nyata. Senyata apa yang sdang kita lihat saat ini. Sejuk…
Banyak sudah kenangan lama yang tenggelam lalu muncul lagi. Kenangan itu seperti ombak lautan yang tidak pernah bisa diperkirakan akan setinggi apa, dan sekeras apakah ombak itu menghantam batu karang. Namun kenangan demi kenangan itu selalu membawa sebuah gejolak rasa. Bercampur aduk menjadi satu lalu terbentuklah sebuah irama. Irama indah yang biasa di sebut ‘rindu’. Irama indah yang mengalun pelan dan menjadi sayang. Bercampur lagi dengan nada-nada indah dari hasrat. Menjadikannya sebuah bisikan pelan nan lembut. Mendesir berlahan menjadi bait-bait ‘cinta….’ Dan itu semua kini lekat, menyatu melebur merasuk ke dalam hati yang dulu resah. Menjadikannya bintik-bintik merah muda mendekati warna pink. Entah sampai kapan semuanya itu menggelayut dalam pikiran dan benak pemuda itu.


* * *





Catatan: Petikan Novel ini pertama ditulis tahun 2004. Tahun yang sama akan di terbitkan Oleh Diva Press Namun karena adanya pergeseran sekmen pasar, Novel ini di tunda penerbitannya dan didahulukan novel saya lainnya yang berjudul 'Cowok Yang Terobsesi Melati....' Penantian selama 5 tahun akhirnya Doa Untuk Dinda siap diterbitkan setelah dialkukan beberapa revisi di dalamnya untuk penyesuaian pasar. SEGERA TERBIT... OKTOBER 2009...
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Segera Terbit: Doa Untuk Dinda"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress