Ketika Cermin Taklagi Jujur -kumpulan puisi-

 KETIKA CERMIN TAKLAGI JUJUR


Berikut ini adalah sekumpulan puisi yang pernah saya buat ebook-nya di tahun 2008. Saya posting semuanya disini, sama seperti dalam ebook itu. Judulnya Ketika Cermin Tak Lagi Jujur. Sekumpulan puisi yang saya tulis pada tahun 1999 hingga 2008.




Ketika Cermin Taklagi Jujur XII

Pada siapa kita akan bertanya
Tentang kecantikan raga ini
Bukan lagi setabur bedak atau olesan gincu menjelang tidur yang takterlihat
Namun kehampaan jiwa yang renta menisik jiwa resah
Membawa kalut juga kemana jika cermin enggan bercerita
Membawa resah kemana ketika sahabat taklebih sebagai penghianat
Membawa dosa pada siapa jika Tuhan taklagi dipercaya
Hingga detik terujung cermin juga taklagi jujur
Hingga ujung terujung
Cermin taklagi jujur mengadulah pada hatimu
(Yogyakarta Juli 2007)


Detik Terujung

Matuku redup benar pagi ini
Menanti mentari takjua muncul
Bukan sebagai penghangat tubuh dingin
Namun sebagi penerang jalanku
Menuju cahayaMu
Apakah umur bisa menentu
Apakah usia bisa tersisa
Dikala ujung kembali tersambung
Memutar ulang kisah lama
Semua sama samar
Semua sama hingar
Dibatas terujung tanpa detak
Di batas terujung aku tersesat
Kembali pada kisah
Di mana semua salah
Ah….
Apakah detik itu tak juga berujung
Berputar dari sisi ke sini
Membawa bunyi segaris miris
Menati ucapan maaf disela gerimis
(Yogyakarta Juli 2007)

Bunyi Segaris Miris

Ada bunyi ditepi pagi sepertinya Azan Subuh
Kutarik jemari kecil kuletakkan di dadaku
Selimut itu sampai di kaki kini kembali lagi menutup tubuhku
Ada bunyi segaris miris atas doa tanpa dosa
Atas peluh tanpa keluh tetap saja ada resah
Tetap saja ada bimbang
Mari nyanyikan lagi lagu resah sebagai pengganti doa usang
Sebagai ganti lagi romantis sebagai pengganti suara rintih
Ada bunyi ditepi pagi sepertinya Azan Subuh
Kutarik jemari kecil kuletakkan di dadaku
Lalu kupejam mata hingga pagi tak jua kubuka
Apakah Dia marah?
Bukahkah Dia Maha Adil?
Sudahi saja hidupku jika memanga aku mengantungkan ampunanMu
Namun, disela tambang lama ini
Aku sadar Engkau Maha Pengampun
Bunyi segaris miris menghantarku kealam mimpi
(Yogyakarta Juli 2007)

ADELWEIS UNTUK DINDA

Apakah malam itu embun turun bersama senyummu yang dingin
Bulan hitam diatas kabut itu adalah cerminku yang pilu
Malam dan bintang senja yang pijar adalah raut wajah kusam
Jejak kaki itu selalu saja pedih, Seiring layunya bunga batu
Bukankah kita belum saling melihat saat matahari terbit
Tapi aku tau…
Itu adalah kamu yang lelap didekap angin dingin
Bunga batu pagi itu terjemur mentari
Terbatas kabut sejuk yang dingin menusuk jiwa luka
Menguak jerit perih yang rindu adinda
Mungkinkah pada saat dini…
Dan malam semakin dingin, kau kaitkan kakimu diantara tali-tali hati
Kekangan jiwa lama menguap bersama harumnya aroma dari keringatmu yang kan
mengucur empat tahun lagi…
Secawan anggur merah yang kuteguk malam ini belum juga membawaku terbang
bersamamu
Saat jiwa-jiwa berontak mencari setes cinta yang bening
Malam…
Biarkan jiwaku melayang jauh mencari adindaku yang lama tak sua
Ini bukan tentang rindu
Bukan pula tentang cinta lama yang terkenang
Ini adalah tentang suatu janji disuatu sore
Dimana senyummu seindah kulit putihmu
Tersentuh jemari lembut yang hanya bisa kubayangkan dalam mimpi


Oh…
Dinda yang menyelinap dalam resah
Datanglah dalam hatiku
Jadilah ratu dalam jiwaku yang luka
Jadilah pengobat dahaga yang takpernah hilang bersama cintamu
Yang mulai kau tabur walau semu dan bahkan samar tanpa bekas
Namun aku tau, ada kabut yang akan membuatku merasa dingin
Dan aku butuh belaianmu pada dirimu
Bualan jiwa luka tentang seorang teman yang pembual
Berkata merah adalah biru
Pada saatnya nanti, kamu akan datang padaku…
Tapi aku tetap diam dengan secangkir racun yang siap kuteguk bila malam tiba…
Jangan kau tutup pintu itu…
Biarkan aroma anggur bersatu dengan pekatnya kabut yang sejuk
Puncak lawu…
Bunga edelweiss
Kabut pagi
Dinginnya malam
Dan sebait puisi kocak
Hanya untukmu…
Bidadari dari bulan yang jatuh tapi bukan dipangkuanku
Kau curi segala pandanganku dengan lenggang indah dan gerai rambut sebahumu
Senyum wanita asing yang muntah darah dipagi hari

Mencari obat rindu padaku…
Dinda…
Teriaklah padaku saat malam benar-benar datang
Dinda…
Aku akan datang padamu dengan membawa seikat mawar
Walau berduri, aromanya sangat harum
Seharum air matamu yang menetes diantara detak jantungku yang tak menentu
Dinda…
Kan kubawakan edelweis sebagai tanda kasih yang lama tersimpan
Kan kuceritakan indahnya dunia malam saat teguk demi teguk jiwa ini mengembara
Lemparkan saja senyummu dari atas bukit itu
Aku akan datang dan berlari menjemputnya kala pagi tiba…
Dinda…
Katakana pada teman mimpimu
Aku dalam milikmu…
Aku dalam kabutmu
Aku dalam rintihanmu
Aku dalam desah lama yang kau ucapkan
Aku selalu menanti mimpiku walau pahit
Dinda…
Katakan itu adalah benar saat malam tiba
Katakan itu adalah benar saat kita terbuai dalam mimpi
(Lereng Guung Lawu 2003)


ARYO GESENG

Pemimpin peradaban pedalangan yang mati bunuh diri
Lupa jati diri yang mulia
Meniti waktu dan masa tanpa saudara
Raden Mas Haryo Geseng III
Dimana letak jiwa besarmu?
Dimana kau kubur jenasah penamu
Dimana kau tanam tinta emas dariku
Sudah membusukkah jasadmu didalam sana…
Ataukah kamu masih berdendang
Melantunkan lagu cinta yang hilang entah kemana
………………………………………………………..
(Blitar Selatan 2001)


BIDADARI YANG MATI

Kenapa kita harus saling menikam bila suatu saat nanti kita akan tertikam
Kenapa kita harus membunuh bila suatu saat nanti kita akan mati
Lihatlah matahari yang mulai tenggelam
Adalah gambaran nyata usia kita yang tak-kan pernah kembali
Senandung merdu itu…adalah doa lama
Kekejaman nyata yang kusaksikan telah terlalu lama
Mengoyak-ngoyak mata batin dan jiwa menyisakan tetesan merah yang terasa hangat
Diantara mataku yang sudah terlalu pedih
Kenapa kita harus saling menikam bila suatu saat nanti kita akan mati
Kabut tipis menutupi alur cerita menyamarkannya menjadi bait-bait yang indah
Sehingga kita lupa masih ada dongeng lama
Kesombongan yang berlindung dibalik tajamnya
Pedang-pedang imitasi memaksa kita harus merintih
Bunga bijak tak lagi tumbuh dihalam kumuh
Dimana aku dilahirkan dulu
Kenapa kita harus membunuh bila suatu saat nanti kita akan tertikam
Prasasti dari tumpahan darah telah dilupakan

Dilupakan oleh megahnya keangkuhan
Pekik perjuangan telah sirna bersama akhir sebuah persetubuhan
Bidadari kecil yang menari bukan sekedar saksi dari mereka yang terlupakan
Kenapa kita harus menikam bila kita tidak bisa mengulang kisah
Kenapa kita harus membunuh
Bila kita tidak pernah tau ada kisah yang tersembunyi
Alur sejarah yang tidak teratur menyisakan sebuah pertanyaan
Diantara mata yang dibutakan
Kenapa kita harus saling menikam dan membunuh bila kita adalah sama
Kenapa kita harus menari bila kita akan mati…
Kemana perginya seorang sahabat lama
Saat topi baja mulai dikenakannya…
Mati bersama gugurnya bunga kamboja
Diiringi isak tangis bidadari kecil ditepian senja
…adalah imbalan bakti…
(Yogyakarta 2004)


DALAM RESAH III

Sudahkah lupa pada janji lama
Sudahkah lupa pada kisah lama
Sudahkah ada luka lama
Dalam resah yang nyata menggelayuti hati
Detak rindu lama yang menguap bersama secangkir kopi hangat
Atau mungkin akan datang pada saat pagi tiba
(Yogyakarta 2008)


DI UJUNG LUKA I

………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………..
……………
……………………….Tidak………………………………………………………………
…………………………………………apa aku harus mati?
……………….
……………..
………………………….belum
Kamu belum datang dengan senyummu
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
…………Menangis lagi?
Sudah…sudah…Pagi telah tiba.......
…………………………datanglah…………………………………………………………
………..sebelum gelap…Aku rindu…………………………….
Ya……..
Sebelum malam…………….Sebelum gelap…………..
…………………………………………………………………………..aku
sendiri………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
………………. ………….. ……………..
………………
……………..
……………….
………………
………………………………………………..
………………………………
……………………………………………………………………………dalam
kosong………………………………………
Diujung kabut yang luka………………………….
(Yogyakarta 2004)


DIBAWAH JENDELA HOTEL YAMATO

Cerita lama telah sirna bersama embun senja
Saat siang enggan menyapa malam yang selalu dingin
Dimana lagu Padamu Negeri yang dulu kerap bergema
Dimana tetesan darah yang dulu mengalir bersama pekik ‘merdeka’
Masih adakah doa lama yang sampai ke-telinga kita
Masih berkibarkah Merah Putih kala malam benar-benar hadir…
Dibawah jendela ini dulu mereka berteriak
Tapi…
Kini…
Peluit nyaring dari yang lapar
Mengalun pilu…
Lelaki tua itu
Berbaju kuning
Dulu dia sangat gagah dengan senapan panjang
Dan bambu runcing yang siap menikam siapa saja yang mendekat
Selendang sutra dengan sutra emas
Melilit kepalanya
Sebuah gambar garuda lekat di dada kanannya
Kini hanya peluh dan terik matahari yang selalu ingat padanya

Mungkin terlalu lama dia berdiri disana…
Sehingga dia lupa dari mana asalnya
Lupa pada perjuanganya
Lembar demi lembar lusuh dilipatnya bersama kepulan asap rokok pekat
Bila senja nanti datang,
Dia akan pulang mengulang mimpinya yang selalu sama
Mengulang dentuman meriah yang suaranya merdu
Mengulang pekik tangis istrinya yang suaranya merdu
Mengulang jerit tawa seorang sahabat yang tangannya tersayat kawat berduri
Dibawah jendela ini dulu mereka berteriak…
Mengharap Merah Putih berkibar
Ditiang yang menjulang tinggi dan kokoh
Dibawah jendela ini mereka kini juga berteriak…
(Surabaya 2006)


DIUJUNG BARAT

Disana…
Walau tidak jauh, kenapa kita tidak meraih…
Saat lumpur menjadi sangat amis
Dengan aroma khas nyawa-nyawa tersiksa
Mencari jalan kesurga…
Disana…Mereka menangis lirih
Mengiringi sarapan pagi kita
Mengiringi persetubuhan kita mengiringi bualan kita
Disana…Jauh memang
Namun kenapa kita masih bisa tertawa bangga
Meniup aroma dusta yang terlempar jauh dari sana
Serambi mekahku yang lantak
Bangkitlah bersama doa dan tangis kami
Dari sini kami peduli
Walau hanya dengan setets peluh
Dan suara parau diantara gerimis hujan
Disana…kami datang walau hanya lewat mimpi
Disana…doa mengiring sepanjang lengkah
Langkah kami yang tertatih, resah…Disana…Diujung barat………………………
Yogyakarta Juli 2006)

DOSA LAMA

Masih seperti dulu saat kita berdiri diatas rumput hijau
Ada kepincangan dari mimpiku tadi pagi, setelah kamu pergi
Tersisakah isak tangismu untukku yang menjadi semakin aneh
Keraskah teriakmu saat pagi tiba dan kita terbangun
Pedihnya luka bisu yang kontras oleh dosa-dosa
Riuhnya malaikat kematian yang ingin menjemputmu
Bertarung denganku yng juga ingin membawamu…
Jauh……………………………………………………..
Sejauh malam yang gelap
Sejauh dirimu saat ini…
Dimana?
Aku belum juga menemukanmu
Kecuali Tuhan Maha Adil
Menghukumku…
(Yogyakarta 2004)


KADO ULANG TAHUN I

Aku takpernah lupa
Hari ini tanggal dua maret
Saat itulah senyum simpulmu kuharap
Saat ini pula aku berkata kepada angin
Maafkan aku…
Biarpun mata kasatku takmampu melihatmu lagi
Tapi ada setyetes embun hangat
Yaitu air mataku
Yang terpercik dan membuat matahatiku yang tertidur seketika terjaga
Dan berlahan-lahan terbuka
Bersamaan dengan wajah ayumu disana
Hanya jarak yang membuatmu jauh
Hanya waktu yang membuatmu resah
Saat nafasmu taklagi didadaku
Hanya tempat yang takmampu membawa isak tangismu dipelukanku
Tapi masih ada angina
Yang membawa kado ulang tahun ini…
Itu dulu…
Sebelum kamu medua
Sebelum kamu terlena…
Oleh rayu dan dusta
Sebelum kamu memelukku dan berkata

Maafkan aku…
Kini bukan lagi dadaku tempatmu mengadu
Bukan lagi tanganku yang menidurkanmu
Bukan lagi aku…
Catatan usang sang penyair…
Basah oleh air mata dan keringat
Menginagtmu yang jauh…
Sejauh surga…
Kini saat itu tiba lagi
Saat aku hanya setangkai mawar…
Lalu mencium keningmu…
Dan…
Berlarilah padanya
Aku bukan milikmu
Aku milik malaikat kematian yang membawa sepasang merpati
Jalinan itu telah terbakar keangkuhan
Semua musnah seiring banjir bandang
Semua tenggelam seiring tenggelamnya
Rumah megahmu
Semua hancur terbawa lumpur desember
(Yogyakarta 2005)


KENAPA KITA BERTANYA

Sudah…
Biarkan saja semua berlalu dengan deru ombak yang pilu
Biarkan saja jangan bertanya siapa?
Kita adalah berikutnya saat Tuhan meminta
Meminta kita atas kerinduan yang bisu
Pedulikah…
Kenapa kita bertanya bila melam sebentar lagi sirna
Bangunlah…
Kami disini
Hanya bisa menulur salam dalam jabat erat
Aceh…
Kita sudah dekat
Teriakkan pada kami
Teriakkan jerit tsngismu pada kami
Ya…
Kami adalah saudaramu
Bangunlah….
Sebelum fajar tiba
(Yogyakarta 2006)


KUDETA MORAL III

Dari panjangnya jalan panjang yang kutempuh
Singgahlah aku dikamar mandi
Bukan mencuci muka atau mandi
Menyusun rencana gila
Bersama kecoak dan kutu-kutu
Untuk berontak pada nafsu
Dimana batas mimpiku
Kemana…
Rona jingga cahaya senja
Perang…
Perang…
Untuk jiwa…
Perang…
Perang…
Untuk siapa?
Damai..
Satu kali saja
Untuk semua
(Yogyakarta 2005)


KURSI GOYANG
Tua memang sudah…
Akalnya keruh, keringatnya asin
Kursi goyang tetap bergoyang
Walau dia malas
…………………………………….
Siapa yang bergoyang
Belum tentu dia malas
Siapa yang malas
Hanya duduk dikursi goyang
(Yogyakarta 2007)

MENANGISLAH SEBELUM PAGI TIBA
Negriku yang damai…
Menagislah engkau sebelum pagi tiba
Dendang lagu merdu setelah itu
Kibarkan Merah Putih dalam cakrawala birumu
Biarkan mereka menggoyahmu dengan doa
Biarkan mereka menari diatas lukamu
Tapi…
Kubur mereka dalam-dalam dalam bumimu
Tenggelamkan mereka dalam lautmu
Hempaskan dengan gelombang dasyat kearah batu karangmu
Negriku yang menangis…
Biarkan mereka menikam dari belakang
Biarkan mereka bernyanyi dalam dongengmu
Biarkan mereka bersetubuh dengan air matamu
Tapi…
Kirimkan cacing dan belatung kemeja makan mereka
Kirimkan racunmu yang paling ganas kecangkir kopi mereka
Kirimkan burung-burung bangkai kekamar tidur mereka
Bila pagi nanti tiba…
Tertawalah bersama kami
Bersama sekelompok anak kecil ditepi jalan
Selimuti mereka dengan kabutmu yang sejuk
Hangatkan mereka dengan mentari yang berpijar
(Yogyakarta 2007)


MINGGU PAGI
Sepagi ini…
Matahari…
Telah…
Berada…
Diufuk…
Barat…
Hampir…
Pulang…
Keperaduan…
Kiamatkah…
Minggu…
Pagi…
Itu…
Murkakah…
Dia…
Minggu…
Pagi…
Itu…
(Yogyakarta Juli 2006)

PAGI HARI SEBELUM MANDI
Menanti secangkir teh hangat, tidak begitu manis
Mengusap wajah yang masih terselimuti mimpi
Menyalakan rokok sisa tadi malam yang masih lima setengah centi
Lalu pergi kekamar mandi mengabdi pada Dewa bumi
Membasuh muka dan menyiapkan baju kerja
Membangunkan seorang teman yang masih terlena dalam mimpi kesiangannya
Mungkin juga menanti secangkir kopi manis dari tetangga sebelah
Menanti anak gadisnya datang membawakan keju dan coklat panas
Kapan…
Saat seribu jarum menusuk lambung…
Saat kerongkongan kering dan meradang…
Saat kulit ini penuh dengan lumpur…
Saat aku menjerit minta makan…
Datangkah dia…
Dengan sepiring nasi goreng dan telur setengah matang
Dibawakannyakah aku setumpuk pakaian dan handuk untukku mandi pagi ini
Sebelum mandi…
Masihkah bisa menikmati sedikit mimpi
…………………………………………….
(Yogyakarta 2006)

PESTA SUNYI
Ribuan mata memandang dalam remangnya malam itu
Jutaan tangan ingin menjamahnya…
Malukah dia yang menari

PESTA SUNYI II
Belum usai…
Saat pagi tiba…
Dimana rumah mereka?
Siapa anak mereka?
Cantikkah malam itu…
(Yogyakarta 2007)


PITA MERAH DIATAS KAIN HITAM
Sepertinya aku salah…
Mengharap dia yang dekat dengan bidadari malam
Mungkin dia juga seorang ratu
Dari kegelapan yang taubatnya terlambat
O …
Dunia ini semakin pahit dengan bertambahnya usia
Semakin samar, semakin suram
Kala senja benar-benar datang
Salahkah
Bila aku datang padamu
Saat hari belum gelap benar…
Atau bahkan masih pagi
Adakah sedikit waktu
Sebelum kamu mati…
Adakah sedikit waktu
Sebelum aku mati…
Adakah sedikit waktu
Sebelum kita mati…
(Yogyakarta 2004)

POHON BIRU DIBELAKANG RUMAH
Kekasihku yang cantik…
Ingatkah kamu pada sebatang pohon yang kutanam dibelakang rumahmu
Masihkah kau sirami sebelum kamu tidur
Jangan biarkan dia mati, lalu kering dan roboh
Petiklah bunganya bila kamu rindu
Jangan biarkan rumput liar tumbuh dibawahnya
Letakkan batu-batu putih disekita pohon itu
Goreskan nama kita dbatangnya yang kokoh
Ambillah rantingnya yang kering
Simpanlah daun-daunnya yang berguguran kerena angin
Letakkan secawan anggur merah, dan selembar kertas
Aku akan datang bila malam tiba, menuliskan sebait puisi tentang kita
Sebait puisi tentang cinta yang indah
Atau barangkali sepenggal kisah lama
Yang terkurung keangkuhan…
Lalu
Ambillah bila pagi tiba
Bacalah bila suamimu telah berangkat kerja…
Pohon biru dibelakang rumah itu
Adalah kenangan dari aku yang mati…
(Yogyakarta 2006)

PROYEK KEKERASAN
Kubangun sebuah panggung megah dari tulang-tulang bayi yang baru lahir
Kudirikan dengan tiang tubuh-tubuh renta
Kuletakkan nisan-nisan diantara sudut-sudut panggung
Lalu kutanam bunga-bunga kamboja Merah dipelataran rumah tua
Kuteriakkan ancaman perang…
Kukorbankan wanita-wanita malam
Kusedekahi para koruptor dengan darah amis anak-anak jalanan
Kubangun tembok kokoh dari tubuh-tubuh kekar kuli bangunan
Kudirikan sebuah kuil megah ditengan kota usang
Kukibarkan bendera hitam diatasnya
Kugantungkan sesesok tubuh renta telanjang
Kusiksa semua orang yang tertidur dimalam hari
Kugantung anak dan istriku dipintu gerbang kota
Agar semua tau…
Aku sangat kejam
Lalu setelah semua orang mati
Kutikamkan sebuah bambu
Didadaku…
(Jombang 2004)

RIUHNYA PEMBERONTAKAN
Masih saja selalu bergema…
Menemani kita semua yang terpuruk dalam dingin angin surga
Maya itu kini nyata…
Bersama lahirnya gadis cantik yang telah jadi dewasa dalam seperempat menit
Mereka mati dalam duka lama yang tersimpul oleh tali pelepah pisang raja
Mati…
Tak terkubur ditepi jalan berlumpur
Banjir malam tadi, menyisakan sebuah mimpi bagi semua
Lumpur yang mengalir mengikis rasa aman
Damai kini tak ada lagi
Sirna bersama dendam untuk saling menikam
Riuhnya pemberontakan didusun pewayangan
Membawa kita kearena perang yang tiada batasnya
Mungkinkah semuanya berubah menjadi hitam
Tanpa ada warna putih yang tercium oleh mata rapuh
Sudut itu penuh pemberontak
Menuntut hak untuk hidup dalam getir
Sudahkah kita dendangkan lagu damai…
Sudahkah kita hancurkan matahari yang bersinar
Hancurkan …
(Kotabumi Juli 2006)


SAAT MALAM…
Saat malam telah berlumur dengan cahaya merah dari timur
Ayam jantan enggan berkokok
Mengibas sayapnya
dan aku belum juga bisa tidur
seakan ada duka yang mengalir sampai ujung rambutku yang memerah
saat malam…
aku kecewa?
Tidak juga
Namun mata ini sedang melukiskan sebuah senyum manis
Saat malam berharap…
Terbelai kabut asmara
Aku berlari…
Berlari mengejar angin yang enggan berhembus
Saat malam…
Ada rona merah dimata saat berkedip
Seakan tidak ingin mati
Saat malam…
Gelombang tak jua pasang
Hanya angin kencang yang mengantar pulang
(Yogyakarta 2007)


SEBELUM AKU TIDUR
Sudah terlalu lelah aku berdiri diantara berjuta dusta
Melepas helai demi helai mimpiku tadi malam
Adakah sejuta doa yang mengalun merdu seperti satu abad yang lalu
Atau masih adakah senyum yang merekah
Diantara bunga kamboja jingga yang tumbuh subur ditengah makam pahlawan
Atau kita akan mati untuk yang kedua kali
Kala langkah ini semakin berat
Pada siapa aku berpegangan
Sedangkan lumpur telah mengikatku dengan bumi ini
Panas matahari telah menikamku dengan sinarnya yang hangat
Adakah ucapan selamat tidur darimu
Saat hari benar-benar senja…
Kemana kamu saat itu, aku rindu
Haruskah aku minta pada-Nya agar kau kembali
Dan…
Menemaniku seperti dulu
Sebelum aku tidur
Sudah terlalu lamakah kamu pergi
Hingga aku lupa akan senyummu
Lupa akan rambutmu yang selalu teruari saat angin menyapamu

Berlarilah…
Mengejar senja
Sebelum aku datang padamu
Lupakan aku
Ingatlah aku
Lupakan saja
Biar kita berdendang nanti
Sebelum aku tidur
Lagu tentang cinta lama yang terkubur
Bersama tertancapnya dua buah butir peluru
Bersama tetesan darah berjuta umat
Bersama aku yang tersisa
Mengais sisa mimpi
Sebelum aku benar-benar tidur
Mungkin menemuimu
Mungkin juga
Menemanimu dibatas mimpi yang tertunda lama
Tapi kapan…
(Yogyakarta 2007)


SECANGKIR KOPI PAHIT
Adalah kisah…
Saat senjata masih tergenggam oleh tangan-tangan kokoh
Berjiwa bersih…
Saat darah yang tertumpah masih untuk bumi tercinta
Saat Ibu Pertiwi masih bangga dengan jerit kesakitan para Pejuangnya yang mati
Adalah sebuah kisah lama…
Saat semua adalah sama, berjuang untuk merdeka
Berjuang untuk tanah kelahiran yang tersiksa
Untuk sekedar menikmati secangkir kopi pahit bersama
Adalah kisah…
Saat senjata tergenggam tangan-tangan kokoh
Berjiwa kotor…
Saat darah yang tertumpah hanya untuk menguasai sesamanya
Saat ibu pertiwi menangis sedih dengan jeritan yang tertindas
Adalah sebuah kisah…
Saat lusuhnya bendera yang berkibar diantara rintihan pilu
Saat keju terasa pahit digedung megah
Saat secangkir anggur merah diminum sendiri
Adalah sebuah kisah nyata…
Saat semua adalah sama, berjuang untuk dirinya sendiriberjuang untuk keangkuhan
Untuk bisa meneguk anggur merah…
Bertemankan malam yang hangat
(Yogyakarta 2006)

SEDIKIT SAJA I
Sudah lelah…
Saat tiba hujan lebat…
Saat usap keringat
Sudah lelah…
Saat kabut pekat…
Mencari jejak yang tertinggal
SEDIKIT SAJA II
Dimana mimpiku menghilang saat kau datang
Dimana lamunanku saat kau menghilang
Resahkah aku malam tadi
Menjemput kabut…
Diatap gedung kaca
Diantara bunga mawar biru muda….
(Yogyakarta 2007)

SEMBOYAN PARA DURJANA
Kita adalah kita, tanpa tau ada apa dibelakang sana
Menikmati sedikit waktu
Sebelum kelahiran malaikat maut
Sebelum musnahnya patung dewa perang
Kehancuran sebuah bangunan kokoh
Bukan berarti kita kalah
Itu adalah titik awal
Titik awal
Titik awal
Jalan terang
Untuk sebuah kehancuran dalam permusuhan nyata
Menari dikolong waktu
Menyanyi tanpa rumah…
(Yogyakarta 2004)


SETUMPUK BATU NISAN
Pada setumpuk batu nisan aku meratap
Meratap kaku
(Yogyakarta 2006)



TANPA HALAMAN
Sepenggal kalimat pengantar tidur panjang para pujangga lama yang dilupakan begitu
saja
Sepucuk surat cinta untuk kekasih yang jauh, yang mungkin juga telah melupa
Sebungkus nasi untuk teman tercinta yang sedang sakit deman dan terkapar dilantai
marmer
Rerumputan yang tumbuh dibawah jendela rumah tanpa halaman
Isak tangis perempuan penjaja cinta yang sedang dicumbu dikamar madi
Teriak lantang perempuan tua penjaja sayur dipasar sre dibawah gerimis
Peluit panjang pak polisi yang lapar…
Sedangkan kamu…
Berdiri mematung mengantar teman yang pergi di stasiun saat kereta menuju surganya
Masihkah ada dendang tentang teman setia
Masihkah ada sebait kata indah dalam doa, ataukah hanya umpatan pada Tuhan…
Kita…
Menunggu belaian sayang dari cucu pertama saat hujan lebat ditepi kali
Kalian…
Berdendang tentang kekejaman jaman yang belum juga usai
Tentang parade lalat-lalat tua yang bergelut dengan asap beracun
Berjemur dibawah terik matahari senja yang belum juga tenggelam saat azan
berkumandang

Resahkah kita akan datangnya banjir bandang yang datang takdiundang
Dimana kebebasan kita sebagi makluk yang sama
Bila saja ada angin yang berhembus padamu
Katakan padaku…
Aku akan berlari menyongsongnya bersama peri kecil teman tidurku…
Saat kubangun sebuah istana indah
Walau tidak megah
Pasti ada yang singgah dan mebiarkan kudanya memakan rerumputan hijau yang tumbuh
liar
(Yogyakarta 2006)

TEMBANG BIMBANG I
Saat gelombang datang…
Hanya tangis samar dari sepertiga manusia yang terdengar
Lalu…
Kenapa kita harus bertanya tentang siapa dalangnya
Ajarkan sebuah kisah berbagi
Tentunya kisah sedih minggu pagi
Saat semua sirna
Nyanyian bimbang tersa indah
Bagi mereka yang jauh
Naluri kecil anak kecil terbagi
Oleh…
Sebungkus nasi basi
Diantar seratus limapuluh ribu mayat
Saudara, rekan, sahabat, semuanya…
Tersenyum disurga
Yang tersisa
Hanya langit yang menangis
Diiringi kidung bimbang…
Kidung bimbang
…………………
Sebimbang hati yang bimbang
(Banjarmasin 1998)

UDAH PUASKAH IBU?
Sudah puaskah ibu menyusuiku
Hingga kini engkau pergi
Pergi jauh, walau belum mati
Sudah puaskah ibu menemani mimpiku
Hingga kini engkau hilang
Hilang walau nanti akan kembali
Sudah puaskah ibu?
(Banjarmasin 1998)

UNTUK DINDA
Dari perjalanan mimpi panjang yang melintasi palung-palung jiwa resah
Meniti gelisah yang belum juga bertepi dikala pagi menjadi teman dalam sepi yang
benar-benar sepi dan sunyi
Masihkah indah rasa lelah itu saat kamu tiba nanti
Saat pelacur-pelacur menyapaku dengan senyumnya yang pahit
Atau saat nyonya-nyonya kaya mati meninggalkan warisannya berupa dosa lama
Yang dilemparkannya padaku saat aku memimpikanmu
Dosakah bila aku meneriakkan namamu kala pagi
Bila matahari telah diatas jari
Saat rembulan menangisi bidadarinya yang terjatuh dari langit
Ingatkah kamu akan tulus sebuah janji semu
Yang terucap dua puluh tahun lalu
Atau aku telah terlupa dari hatimu
Bila rindu ini tidak lagi bertepi, masihkah ada peluhmu yang terseret angin pekat
berkabut darah
Masihkan ada dendang rindu…
Kala aku merajut mimpi…
(Yogyakarta 2004)

UNTUK DINDA II
Secawan anggur merah yang kuteguk malam ini.
Belum juga membawaku terbang bersamamu.
Saat jiwa-jiwa berontak mencari setes cinta yang bening.
Engkau yang menyelinap dalam resah.
Datanglah dalam hatiku
Jadilah ratu dalam jiwaku yang luka
Aku akan datang padamu dengan membawa seikat mawar.
Walau berduri, aromanya sangat harum.
Seharum air matamu yang menetes diantara detak jantungku.
(Yogyakarta 2004)

UNTUK GADIS BERPITA…
Tunjukkan padaku, resahmu yang dulu tersimpan dalam
Peluklah aku saat kau merintih dalam irama takdir
Katakan saja
Jangan ragu, akulah takdir baru untukmu
Membawa racun termanis dalam sejarah cinta
Jalan yang samar adalah sama
Tanpa rasa rindu
Diantara sesaknya dunia baru yang menantimu
Kan kudendangkan asmarandana menjelang tidurmu
Kan kulantunkan tembang asmara jingga
Lama…
(Yogyakarta 2004)

UNTUK NONA…
Usia yang berlalu begitu saja…
Sudahkah kau menoleh dan menemukannya? Sebuah kebahagiaan nyata
Dari balik letik bulu matamu
……………………………….
Dari pijar bening yang terkikis waktu
………………………………………….
Melangkahlah…
Jalan awal bukan lagi pilihan titilah tangga demi tangga
Jangan terlalu lama menoleh
Dibelakangmu sepi…
Raihlah bintang pijar…
Tapi jangan terlu lama kau genggam ambillah rembula purnama itu
Tapi jangan kau letakkan dipangkuanmu
Nona…
Titilah jalan panjangmu
Dengan doa…
Kejarlah mimpi lamamu
Dengan senyum bangga…
Tujuh belas tahun sudah kau hirup udara pagi
Panas terik mentari dan debu usang menantimu

Udara senja akan datang padamu
Lalu…
Masihkah kau ingat teman bercandamu
Atau mungkin kamu lupa
Hari itu akan datang…
Berteriaklah dengan lantang
Sambutlah matahari
Dengan kedua tangan menengadah
Panas memang…
Namun jangan kau usap peluh didahimu…
Jalan itu masih panjang dan bercabang…
(Yogyakarta 2006)

KETIKA CERMIN TAKLAGI JUJUR IV
Bunga itu telah layu sejak tadi pagi
Menanti embun bening tak jua datang
Beribu kumbang menghisap madunya
Resah
Resah
Kemana dia meminta setetes kasih
Jika embun tak turun
Dimana kelopak bunga akan bercermin
Jika tida pada embun
(Bandarlampung 1999)

KETIKA CERMIN TAKLAGI JUJUR V
Ini masih tentang cermin, dalam kebisuan
Menanti engkau berdandan dengan riang
Setelah engkau pergi, masih ingatkan dirimu padaku cermin itu
Setelah engkau melangkah, masihkan cermin kau kenang?
Ini masih tentang cermin bisu
Membisu oada titik namun takjenuh
Ini tentang cermin itu
Yang setia menemanimu ketika engkau merias wajah
Ini masih tentang cermin itu
Yang bisa kelu melihatmu memutar tubuh
Ini masih tentang cermin itu
Membawa gelisah dalam tubuh rentamu kelak
Ketika keriput telah melaknatmu
Ketika uban telah menjadi sahabat menakutkan
Aku, aku cermin bisu masih setia dalam pantulan pudarku
(Jombang 2008)

CERMIN TAK LAGI JUJUR VI
Masih kuceritakan diriku yang menjadi kekasih setiamu
Dalam detik ke detik engkau hadir dan pergi
Dalam detik ke detik engkau merasuk dalam jiwaku
Aku yang hanya cermin yang kau jadikan sandaran kecantikanmu
Aku yang selalu meratap untuk engkau agar kau tidak menjauh
Aku yang hanya bisa membisu dalam ketulusanku
Dalam ketulusanku untuk menjadikanmu indah dimata kekasihmu
Aku yang selalu menjadikanmu molek dalam kecupan kekasihmu
Aku
Aku
Aku dalah cermin itu
Yang selalu melihatmu dalam lelap
Menemami mimpumu dalam remang
Aku cermin itu
Yan terdiam menanti lembutnya kasihmu
Aku masih jujur
Dan aku selalu jujur untuk mengantarkanmu kepada kekasihmu diluar sana
Aku masih jujur dalam terpaku
Terpaku resah didinding kamarmu
(Jombang 2008)

CERMIN TAK LAGI JUJUR VII
Tujuh purnama sudah engkau menghilang
Menghilang untuk berpaling dariku
Menembus batas kesadaranku
Untuk membuang masa lalumu
Aku luluh lantak dalam gelisah
Gelisah menantikanmu
Menantikanmu kembali dari negeri jauh
Negeri jauh yang aku tidak tau
Ketika engkau kembali dengan senyum
Saat itulah aku berbohong padamu
Saat engkau dekap erat foto itu
Saat itu aku tak jujur padamu
Dan ketika engkau memimpikannya
Saat itulah aku tak jujur padamu
Aku cemburu
Cemburu dalam mimpi tertinggi
Untuk memilikimu
Aku hanya cermin
Memandangmu bahagia
Aku menangis
Saat itulah aku tak jujur padamu
Maaf...
(Yogyakarta 2008)



Salam Budaya: @endikkoeswoyo Mari Mencintai Indonesia Apa Adanya MANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Ketika Cermin Taklagi Jujur -kumpulan puisi-"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress