Secangkir Kopi di Antara Gerimis
#Bukti Cinta#
Bontang, kota ke dua aku mengadu nasib! Di kota ini berdiri tiga perusahaan besar di bidang yang berbeda-beda, Badak NGL (gas alam), Pupuk Kalimantan Timur (pupuk dan amoniak),dan Indominco Mandiri (batubara) serta memiliki kawasan industri petrokimia yang bernama Kaltim Industrial Estate. Kota Bontang sendiri merupakan kota yang berorientasikan di bidang industri, jasa serta perdagangan.Bontang, sebuah kota dengan dua kota besar di dalamnya. Pertama, kota PKT dan kota Badak. Yang menarik adalah Badak, atau lebih tepatnya PT. BadakNGL. Kenapa nama itu begitu unik? Apakah banyak badak di sana? Tidak, bahkan kepanjangan juga tak ada, hanya Badak. Konon kota Badak dihuni oleh orang-orang dengan dompet tebal, bahkan ada yang bilang, jika mereka kekluar dari lingkungan Badak, mereka akan bilang “Jalan-jalan ke kampung dulu!” Awawawaw…segitunyakah mereka menganggap lingkungan luar Badak adalah kampung? Kumuh? Tapi itu masih katanya, kata masyarakat Bontang yang tinggal di luar Badak?
Ah jadi penasaran aku dengan kota ini. Kutelisik lagi lebih dalam, kugali informasi lagi lebih mendalam, semakin dalam hingga aku menemukan sebuah kisah yang cukup unik tentang sejarah kota ini. Begini kisahnya; Dalam perjalanan sejarah, Bontang yang sebelumnya hanya merupakan perkampungan yang terletak di daerah aliran sungai, kemudian mengalami perubahan status, sehingga menjadi sebuah kota. Ini merupakan tuntutan dari wilayah yang majemuk dan terus berkembang. Pada awalnya, sebagai kawasan permukiman, Bontang memiliki tata pemerintahan yang sangat sederhana. Semula hanya dipimpin oleh seorang yang dituakan, bergelar Petinggi di bawah naungan kekuasaan Sultan Kutai di Tenggarong. Nama-nama Petinggi Bontang tersebut adalah: Nenek H Tondeng, Muhammad Arsyad yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Kutai sebagai Kapitan, Kideng, dan Haji Amir Baida alias Bedang. Bontang terus berkembang sehingga pada 1952 ditetapkan menjadi sebuah kampong yang dipimpin Tetua Adat. Saat itu kepemimpinan terbagi dua: hal yang menyangkut pemerintahan ditangani oleh Kepala Kampung, sedangkan yang menyangkut adat-istiadat diatur oleh Tetua Adat Jauh sebelum menjadi wilayah Kota Administratif, sejak 1920, Desa Bontang ditetapkan menjadi ibu kota kecamatan yang kala itu disebut Onder Distrik van Bontang, yang diperintah oleh seorang asisten wedana yang bergelar Kiyai. Adapun Kyai yang pernah memerintah di Bontang dan masih lekat dalam ingatan sebagian penduduk adalah: Kiyai Anang Kempeng, Kiyai Hasan, Kiyai Aji Raden, Kiyai Anang Acil, Kiyai Menong, Kiyai Yaman, dan Kiyai Saleh. Sebelum menjadi sebuah kota,status Bontang meningkat menjadi kecamatan , dibawah pimpinan seorang asisten wedana dalam Pemerintahan Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai Kartanegara XIX (1921-1960), setelah ditetapkan Undang Undang No 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tk II di Kalimantan Timur dengan menghapus status Pemerintahan Swapraja.
Dari mana asal kata kota Bontang? Dalam perbendaharaan asli Kalimantan, tidak dikenal kata "bontang". Menurut cerita turun-temurun, "bontang" merupakan akronim Bahasa Belanda “bond” yang berarti kumpulan atau Bahasa Inggris yang artinya ikatan persaudaraan, serta “tang” dari kata pendatang. Sebutan ini diberikan, karena cikal bakal kampung Bontang tidak lepas dari peran pendatang.
Ah sudahlah, bukan soal asal-usul atau sejarah kota ini yang ingin aku tuliskan. Aku hanya ingin curhat sedikit tentang secangkir kopi yang ada di sampingku dan kini sudah mulai beku. Sudah 5 hari ini, makanpun rasanya tak enak. Sudah 5 hari ini kulihat tatapan hampa pedagang buku dan pedagang UKM yang berkumpul penuh harapan datangnya rejeki di lapangan Parikesit yang dulu dibangung untuk MTQ. Sepi, mungkin itu yang kalimat yang tepat, apalagi jika hujan datang, setanpun seakan ikut menghilang. Bahkan kuntilanak juga tak menampakkan batang hidungnya. Betapa tidak, mau makan apa jika omset itu Nol Rupiah? “Tidak!” teriakku tapi dalam hati.
“Piye iki mas?” (Gimana ini mas?) pertanyaan itu begitu menohok, menuduk hingga ketulang sumsum paing dalam. Dingin. Mencabik-cabik hati, mengiris jantung dan merobek semua rasa yang ada. Aku yang mendapat sodoran pertanyaan itu hanya bisa tersenyum dengan senyum paling pahit yang bisa terlontar. “Siapa yang mengantar kami kesini?” tidak ada yang bisa dipersalahkan, tidak juga kau!? Kau siapa? Entahlah….
Hari ke lima, tagihan-tagihan mulai mengalir, tagihan tenda yang bocor sana-sini, tagihan venue yang kata Wakil Walikota Gratis, tagihan genset, tagihan perijinan, tagihan listrik pln yang mota-mati itu, tagihan air yang sebentar saja habis sampai-sampai kalau pagi bingung cari masjid terdekat untuk buang hajad, tagihan flooring dan tagihan yang lain-lain yang totalnya 40jutaan. Aku yang ditagih, sekali lagi hanya tersenyum sepahit madu, karena aku belum mampu menagih peserta pameran. Jangan menagih, menyapa merekapun aku tak mampu. Aku sudah laiknya orang gila yang berjalan hilir mudik diantara gerimis yang tak henti-hentinya mengancam dagangan.
Ponsel kecil yang aku beli 200ribu itu bordering, ya, kekasih hatiku menghubungiku. Dialah kekuatan terbesar untuk tetap bertahan dan tidak pulang. Ahh tidak juga, masih banyak hal yang membuatku bertahan di sini, di kota unik yang menyiman sejuta pertanyaan. Ke mana perginya orang PKT? Ke mana hilangnya orang Badak yang konon pesangonnya mencapai 2 Milyar itu? Aku memilih diam seribu kata, diam membisu tanpa sebait kalimat. Kurebahkan tubuhku di lantai keramik yang hanya beralaskan kain-kain bekas spanduk dan tumpukan kardus Aqua yang panjangnya hanya sampai pinggang. Di luar hujan masih turun, diluar kilat masih menyambar sesekali, diluar masih ada gelisah. Gelisah takut di marahi Pak Bos, gelisah mikirin anak istri dirumah, dan gelisah-gelisah lainnya masih bergelayutan di hati masing-masing, tidak juga kau!
Secangkir kopi yang mulai dingin itu aku teguk sekali, lalu aku letakkan lagi. Kulupakan semua masalah ini, aku ingin tidur walau tanpa bantal, tanpa kasur, apalagi guling empuk. Sebenarnya aku ingin beli bantal cinta (bantal panjang untuk berdua itu) tapi apa daya? Uang di domper tinggal selembar Satu Riyal dan selembar Dua Ribu Rupiah, dan itupun asli uang dari tanah Arab. Ala Mak Jang! Sudah dua kali aku makan dengan cara cashbon pada warung Mak’e disebelah bascam ini.
“Ya Rabb… kutulis ini bukan sebagai sebuah keluhan, bukan sebuah protes, tapi aku tulis ini sebagai sebuah harapan. Harapan dan doa untuk Kau datangkan para pecinta buku dan produk-produk UKM yang saat ini sedang berdoa agar dagangan mereka lalu Ya Rabb…. Terimakasih atas semua yang Engkau berikan ke pada kami…”
Sekali lagi kuteguk secangkir kopi dingin itu di antara gerismis.
Bontang 23 Juli 2010 pada saat Dini dalam hujan yang tak kunjung reda….
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
#Bukti Cinta#
Bontang, kota ke dua aku mengadu nasib! Di kota ini berdiri tiga perusahaan besar di bidang yang berbeda-beda, Badak NGL (gas alam), Pupuk Kalimantan Timur (pupuk dan amoniak),dan Indominco Mandiri (batubara) serta memiliki kawasan industri petrokimia yang bernama Kaltim Industrial Estate. Kota Bontang sendiri merupakan kota yang berorientasikan di bidang industri, jasa serta perdagangan.Bontang, sebuah kota dengan dua kota besar di dalamnya. Pertama, kota PKT dan kota Badak. Yang menarik adalah Badak, atau lebih tepatnya PT. BadakNGL. Kenapa nama itu begitu unik? Apakah banyak badak di sana? Tidak, bahkan kepanjangan juga tak ada, hanya Badak. Konon kota Badak dihuni oleh orang-orang dengan dompet tebal, bahkan ada yang bilang, jika mereka kekluar dari lingkungan Badak, mereka akan bilang “Jalan-jalan ke kampung dulu!” Awawawaw…segitunyakah mereka menganggap lingkungan luar Badak adalah kampung? Kumuh? Tapi itu masih katanya, kata masyarakat Bontang yang tinggal di luar Badak?
Ah jadi penasaran aku dengan kota ini. Kutelisik lagi lebih dalam, kugali informasi lagi lebih mendalam, semakin dalam hingga aku menemukan sebuah kisah yang cukup unik tentang sejarah kota ini. Begini kisahnya; Dalam perjalanan sejarah, Bontang yang sebelumnya hanya merupakan perkampungan yang terletak di daerah aliran sungai, kemudian mengalami perubahan status, sehingga menjadi sebuah kota. Ini merupakan tuntutan dari wilayah yang majemuk dan terus berkembang. Pada awalnya, sebagai kawasan permukiman, Bontang memiliki tata pemerintahan yang sangat sederhana. Semula hanya dipimpin oleh seorang yang dituakan, bergelar Petinggi di bawah naungan kekuasaan Sultan Kutai di Tenggarong. Nama-nama Petinggi Bontang tersebut adalah: Nenek H Tondeng, Muhammad Arsyad yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Kutai sebagai Kapitan, Kideng, dan Haji Amir Baida alias Bedang. Bontang terus berkembang sehingga pada 1952 ditetapkan menjadi sebuah kampong yang dipimpin Tetua Adat. Saat itu kepemimpinan terbagi dua: hal yang menyangkut pemerintahan ditangani oleh Kepala Kampung, sedangkan yang menyangkut adat-istiadat diatur oleh Tetua Adat Jauh sebelum menjadi wilayah Kota Administratif, sejak 1920, Desa Bontang ditetapkan menjadi ibu kota kecamatan yang kala itu disebut Onder Distrik van Bontang, yang diperintah oleh seorang asisten wedana yang bergelar Kiyai. Adapun Kyai yang pernah memerintah di Bontang dan masih lekat dalam ingatan sebagian penduduk adalah: Kiyai Anang Kempeng, Kiyai Hasan, Kiyai Aji Raden, Kiyai Anang Acil, Kiyai Menong, Kiyai Yaman, dan Kiyai Saleh. Sebelum menjadi sebuah kota,status Bontang meningkat menjadi kecamatan , dibawah pimpinan seorang asisten wedana dalam Pemerintahan Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai Kartanegara XIX (1921-1960), setelah ditetapkan Undang Undang No 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tk II di Kalimantan Timur dengan menghapus status Pemerintahan Swapraja.
Dari mana asal kata kota Bontang? Dalam perbendaharaan asli Kalimantan, tidak dikenal kata "bontang". Menurut cerita turun-temurun, "bontang" merupakan akronim Bahasa Belanda “bond” yang berarti kumpulan atau Bahasa Inggris yang artinya ikatan persaudaraan, serta “tang” dari kata pendatang. Sebutan ini diberikan, karena cikal bakal kampung Bontang tidak lepas dari peran pendatang.
Ah sudahlah, bukan soal asal-usul atau sejarah kota ini yang ingin aku tuliskan. Aku hanya ingin curhat sedikit tentang secangkir kopi yang ada di sampingku dan kini sudah mulai beku. Sudah 5 hari ini, makanpun rasanya tak enak. Sudah 5 hari ini kulihat tatapan hampa pedagang buku dan pedagang UKM yang berkumpul penuh harapan datangnya rejeki di lapangan Parikesit yang dulu dibangung untuk MTQ. Sepi, mungkin itu yang kalimat yang tepat, apalagi jika hujan datang, setanpun seakan ikut menghilang. Bahkan kuntilanak juga tak menampakkan batang hidungnya. Betapa tidak, mau makan apa jika omset itu Nol Rupiah? “Tidak!” teriakku tapi dalam hati.
“Piye iki mas?” (Gimana ini mas?) pertanyaan itu begitu menohok, menuduk hingga ketulang sumsum paing dalam. Dingin. Mencabik-cabik hati, mengiris jantung dan merobek semua rasa yang ada. Aku yang mendapat sodoran pertanyaan itu hanya bisa tersenyum dengan senyum paling pahit yang bisa terlontar. “Siapa yang mengantar kami kesini?” tidak ada yang bisa dipersalahkan, tidak juga kau!? Kau siapa? Entahlah….
Hari ke lima, tagihan-tagihan mulai mengalir, tagihan tenda yang bocor sana-sini, tagihan venue yang kata Wakil Walikota Gratis, tagihan genset, tagihan perijinan, tagihan listrik pln yang mota-mati itu, tagihan air yang sebentar saja habis sampai-sampai kalau pagi bingung cari masjid terdekat untuk buang hajad, tagihan flooring dan tagihan yang lain-lain yang totalnya 40jutaan. Aku yang ditagih, sekali lagi hanya tersenyum sepahit madu, karena aku belum mampu menagih peserta pameran. Jangan menagih, menyapa merekapun aku tak mampu. Aku sudah laiknya orang gila yang berjalan hilir mudik diantara gerimis yang tak henti-hentinya mengancam dagangan.
Ponsel kecil yang aku beli 200ribu itu bordering, ya, kekasih hatiku menghubungiku. Dialah kekuatan terbesar untuk tetap bertahan dan tidak pulang. Ahh tidak juga, masih banyak hal yang membuatku bertahan di sini, di kota unik yang menyiman sejuta pertanyaan. Ke mana perginya orang PKT? Ke mana hilangnya orang Badak yang konon pesangonnya mencapai 2 Milyar itu? Aku memilih diam seribu kata, diam membisu tanpa sebait kalimat. Kurebahkan tubuhku di lantai keramik yang hanya beralaskan kain-kain bekas spanduk dan tumpukan kardus Aqua yang panjangnya hanya sampai pinggang. Di luar hujan masih turun, diluar kilat masih menyambar sesekali, diluar masih ada gelisah. Gelisah takut di marahi Pak Bos, gelisah mikirin anak istri dirumah, dan gelisah-gelisah lainnya masih bergelayutan di hati masing-masing, tidak juga kau!
Secangkir kopi yang mulai dingin itu aku teguk sekali, lalu aku letakkan lagi. Kulupakan semua masalah ini, aku ingin tidur walau tanpa bantal, tanpa kasur, apalagi guling empuk. Sebenarnya aku ingin beli bantal cinta (bantal panjang untuk berdua itu) tapi apa daya? Uang di domper tinggal selembar Satu Riyal dan selembar Dua Ribu Rupiah, dan itupun asli uang dari tanah Arab. Ala Mak Jang! Sudah dua kali aku makan dengan cara cashbon pada warung Mak’e disebelah bascam ini.
“Ya Rabb… kutulis ini bukan sebagai sebuah keluhan, bukan sebuah protes, tapi aku tulis ini sebagai sebuah harapan. Harapan dan doa untuk Kau datangkan para pecinta buku dan produk-produk UKM yang saat ini sedang berdoa agar dagangan mereka lalu Ya Rabb…. Terimakasih atas semua yang Engkau berikan ke pada kami…”
Sekali lagi kuteguk secangkir kopi dingin itu di antara gerismis.
Bontang 23 Juli 2010 pada saat Dini dalam hujan yang tak kunjung reda….
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Posting Komentar untuk "Secangkir Kopi di Antara Gerimis"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...