Sebuah Memorabilia untuk Yogya
Didedikasikan kepada para korban dan relawan gempa Yogya, 27 Mei 2006.
Setahun berlalu dan bencana yang melanda masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya tetap membekas. Kenangan akan mereka yang telah tiada senantiasa mengisi hari-hari mereka yang selamat. Langit yang serasa runtuh kerap menghantui dalam mimpi. Luka ini sulit hilang begitu saja. Namun manusia harus tetap mengingat dan berserah diri pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Agung. Kehidupan harus terus berlanjut. Apa yang telah terjadi hendaklah membuat manusia ingat tak ada yang abadi di dunia ini.
Paragraf di atas menjadi inti semangat isi Jogja 5,9 SR, sebuah kompilasi komik pendek karya banyak seniman komik Indonesia yang terbit untuk mengenang setahun musibah itu. Diterbitkan oleh ArusKata Press sebanyak 100 buku. Lembaran dibuka dengan Namaku Tini (Anto Garang), yang mengisahkan penyesalan seorang gadis cilik yang kehilangan kedua orang tuanya. Malam sebelum bencana ia merajuk dan berharap kedua orang tuanya meninggal. Ketika mengetahui kedua orang tuanya tak selamat, ia menyesali perbuatannya. Tini berharap Tuhan mengampuni dosa atas kesalahan kepada kedua almarhum.
Azisa Noor menampilkan Asa yang tanpa dialog. Kekuatan visual menjadi keunggulan utama. Tidur Panjang (Beng Rahadian) tampil dengan gaya surealisnya, yang membuat pembaca perlu waktu untuk merenung dan menangkap pesannya. Sebuah terborosan baru dalam khasanah komik Indonesia.
Endik Koeswoyo (dibantu Diyan Bijac) mengajak pembaca 'mendengar' narasi Pak Gempa, tokoh utamanya. Kehilangan sebagian keluarganya tak membuat Pak Gempa mudah menyerah. Ia tetap kukuh dan menanamkan kepada kedua anaknya yang selamat untuk tetap melanjutkan hidup. Kegetiran melanda saat mereka kesulitan mencari bantuan pangan dan sandang. Ini diperparah oleh petugas yang meminta persyaratan administrasi, yang tentu saja tidak bisa dipenuhi karena semuanya musnah dilanda bencana. Mungkinkah ini potret dari peristiwa yang sebenarnya terjadi?
Komikus senior Mansjur Daman bekerja sama dengan Suryo Nugroho (Injun) mengisahkan bantuan yang diberikan para tentara. Oyasujiwo dan Iput melukiskan bagaimana satu keluarga menjadi paranoid ketika mempersiapkan berbagai kebutuhan hidup (jika bencana melanda). Keunikan lain terlihat saat Frigidanto Agung mengkombinasikan berbagai foto dan ilustrasi serta merangkainya bak buku harian. Dwinita Larasati, yang karyanya ikut terpilih dikompilasi bersama 23 komikus internasional dalam buku 24 Hours Comic Day tahun 2006, ikut partisipasi. Menjadi ciri khas Dwinita ketika ilustrasinya yang selalu tanpa balon teks menggambarkan suasana rumahnya detik-detik ketika gempa terjadi.
Komik pendek yang paling mencerminkan semangat buku ini mungkin Keberanian, Harapan, Cita-cita (Mario Diaz). Seorang gadis mungil melamun di bawah pohon ditemani boneka beruangnya. Sang boneka menasihati dan memberinya semangat untuk tetap memiliki keberanian, cita-cita, dan harapan. "Di luar sana masih banyak sesuatu yang berguna yang bisa kamu lakukan!" begitu nasihat boneka beruang kepada sang gadis cilik. Ia lalu menatap langit cerah, dan perlahan ia tersenyum.
Total 18 komik pendek bisa dinikmati dan setelah menutup buku kita juga akan ikut merenung. Jika suatu cobaan melanda, siapa pun, jangan mudah menyerah. Seberat apa pun cobaan, Tuhan selalu mengharapkan umat-Nya untuk terus berkarya dan melanjutkan hidup.
Jogja 5,9 SR bisa dikatakan menjadi cermin wajah komik Indonesia saat ini. Setidaknya secara visual dan cara bercerita. Berbagai pengaruh dapat ditemukan di sini. Mulai pengaruh komikus Indonesia tempo doeloe, gaya manga Jepang dan Eropa, surealis dan avant garde, dengan dan tanpa batas panel, gaya bercerita langsung, lawak ataupun puitis, hingga komik tanpa narasi sedikit pun. Semua (mungkin) terlihat baru dan segar (bahkan mungkin aneh) bagi sebagian pembaca. Kesemuanya merepresentasikan wajah komik Indonesia hari ini.
Surjorimba Surotowww.komikindonesia.com
Didedikasikan kepada para korban dan relawan gempa Yogya, 27 Mei 2006.
Setahun berlalu dan bencana yang melanda masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya tetap membekas. Kenangan akan mereka yang telah tiada senantiasa mengisi hari-hari mereka yang selamat. Langit yang serasa runtuh kerap menghantui dalam mimpi. Luka ini sulit hilang begitu saja. Namun manusia harus tetap mengingat dan berserah diri pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Agung. Kehidupan harus terus berlanjut. Apa yang telah terjadi hendaklah membuat manusia ingat tak ada yang abadi di dunia ini.
Paragraf di atas menjadi inti semangat isi Jogja 5,9 SR, sebuah kompilasi komik pendek karya banyak seniman komik Indonesia yang terbit untuk mengenang setahun musibah itu. Diterbitkan oleh ArusKata Press sebanyak 100 buku. Lembaran dibuka dengan Namaku Tini (Anto Garang), yang mengisahkan penyesalan seorang gadis cilik yang kehilangan kedua orang tuanya. Malam sebelum bencana ia merajuk dan berharap kedua orang tuanya meninggal. Ketika mengetahui kedua orang tuanya tak selamat, ia menyesali perbuatannya. Tini berharap Tuhan mengampuni dosa atas kesalahan kepada kedua almarhum.
Azisa Noor menampilkan Asa yang tanpa dialog. Kekuatan visual menjadi keunggulan utama. Tidur Panjang (Beng Rahadian) tampil dengan gaya surealisnya, yang membuat pembaca perlu waktu untuk merenung dan menangkap pesannya. Sebuah terborosan baru dalam khasanah komik Indonesia.
Endik Koeswoyo (dibantu Diyan Bijac) mengajak pembaca 'mendengar' narasi Pak Gempa, tokoh utamanya. Kehilangan sebagian keluarganya tak membuat Pak Gempa mudah menyerah. Ia tetap kukuh dan menanamkan kepada kedua anaknya yang selamat untuk tetap melanjutkan hidup. Kegetiran melanda saat mereka kesulitan mencari bantuan pangan dan sandang. Ini diperparah oleh petugas yang meminta persyaratan administrasi, yang tentu saja tidak bisa dipenuhi karena semuanya musnah dilanda bencana. Mungkinkah ini potret dari peristiwa yang sebenarnya terjadi?
Komikus senior Mansjur Daman bekerja sama dengan Suryo Nugroho (Injun) mengisahkan bantuan yang diberikan para tentara. Oyasujiwo dan Iput melukiskan bagaimana satu keluarga menjadi paranoid ketika mempersiapkan berbagai kebutuhan hidup (jika bencana melanda). Keunikan lain terlihat saat Frigidanto Agung mengkombinasikan berbagai foto dan ilustrasi serta merangkainya bak buku harian. Dwinita Larasati, yang karyanya ikut terpilih dikompilasi bersama 23 komikus internasional dalam buku 24 Hours Comic Day tahun 2006, ikut partisipasi. Menjadi ciri khas Dwinita ketika ilustrasinya yang selalu tanpa balon teks menggambarkan suasana rumahnya detik-detik ketika gempa terjadi.
Komik pendek yang paling mencerminkan semangat buku ini mungkin Keberanian, Harapan, Cita-cita (Mario Diaz). Seorang gadis mungil melamun di bawah pohon ditemani boneka beruangnya. Sang boneka menasihati dan memberinya semangat untuk tetap memiliki keberanian, cita-cita, dan harapan. "Di luar sana masih banyak sesuatu yang berguna yang bisa kamu lakukan!" begitu nasihat boneka beruang kepada sang gadis cilik. Ia lalu menatap langit cerah, dan perlahan ia tersenyum.
Total 18 komik pendek bisa dinikmati dan setelah menutup buku kita juga akan ikut merenung. Jika suatu cobaan melanda, siapa pun, jangan mudah menyerah. Seberat apa pun cobaan, Tuhan selalu mengharapkan umat-Nya untuk terus berkarya dan melanjutkan hidup.
Jogja 5,9 SR bisa dikatakan menjadi cermin wajah komik Indonesia saat ini. Setidaknya secara visual dan cara bercerita. Berbagai pengaruh dapat ditemukan di sini. Mulai pengaruh komikus Indonesia tempo doeloe, gaya manga Jepang dan Eropa, surealis dan avant garde, dengan dan tanpa batas panel, gaya bercerita langsung, lawak ataupun puitis, hingga komik tanpa narasi sedikit pun. Semua (mungkin) terlihat baru dan segar (bahkan mungkin aneh) bagi sebagian pembaca. Kesemuanya merepresentasikan wajah komik Indonesia hari ini.
Surjorimba Surotowww.komikindonesia.com
Posting Komentar untuk " "
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...