Ketika laut surut " Sebuah Cerpen"

Ketika laut surut " Sebuah Cerpen"
#Bukticinta

Gelombang laut mulai menyurut dengan dengan pelan namun pasti. Batu-batu karang mulai kelihatan pelan-pelan semakin jelas. Secangkir kopi masih menjadi sahabat setia pagi ini. Kangen. Mataku jauhmemandang, kea rah sebuah pulau kecil dengan pohon-pohon yang lebat, sendiri, dan aku tak pernah mengetahui apa nama pohon itu. Sepertinya dia sendiri, sepertinya juga tidak. Ada pohon lain di pulau itu. Langit biru membentul landscape yang indah, dengan sesekali pesawat melintas dengan deru yang cukup kencang. Sesekali gelombang itu membesar dengan tiba-tiba dengan melintasnya sebuah kapan nelayan. Mataku berganti arah, menuju ke seorang pria dengan jala yang disandangnya dibahu. Sedari tadi belum juga dia melemparkan jalanya ke laut. Matanya masih nanar, entah melihat apa. Mungkin dia masih malas untuk melemparkan jalanya, atau dia masih takut dingin air laut pagi ini. Dia masih berdiri di tepi pantai ini.
Masih terus aku amati pria nelayan yang tak juga bergerak itu. Pelan namun pasti aku mendekat, mencoba mencari celah untuk menyepanya. Rasa penasaran di hati membuatku mau-tak mau ikut mendekatkan diri ke air yang memang dingin itu. Angin membelaiku semakin penuh nafsu, dingin membuat bulu-bulu tanganku meregang tegang.
“Dapat banyak Pak?” tanyaku tiba-tiba dan itu membuatnya terkejut.
“Belum Mas, basah saja belum,” sahutnya sembari mengangkat sepatu Boot-nya.
Gaya bicaranya kalem namun tegas dan penuh wibawa. Senyumnya tulus. Aku memperhatikannya sekali lagi. Lalu membalas senyum itu. Aku bingung harus bicara apa lagi, tak ada tema yang menarik untuk dibahas. Tidak mungkin aku membahas soal Bank Century, tidak mungkin juga aku dengan tiba-tiba membahas soal bencana Lapindo apalagi soal video prono Luna dan Ariel.
“Pernah dapet keong racun nggak pak?” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Hahahhaha… kamu bisa saja mas! Kalau kerang racun ada!” sahutnya sembari tertawa lepas.
Garin. Obrola kami yang belum sempet memperkenalkan diri masing-masing itu semakin garing. Tak ada tema yang bisa aku luncurkan. Bahkan keong racun yang lagi menjadi pembicaraan hangat hanya disahutnya dengan tawa.
“Sudah lama jadi nelayan?” tanyaku garing.
“Belum lama, setahun yang lalu.” Sahutnya.
“Sebelumnya?” tanyaku lagi.
“Saya 18 tahun menjadi anggota Polri, dari Prajurit Dua, Sersan Dua, Sersan Satu hingga jabatan saya Ajun Inspektur Polisi Satu.” sahutnya sembari menghela nafas.
“Wow,” sahutku kagum namun tak percaya begitu saja.
“Dan 18 tahun itu saya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini.” Lanjutnya sembari mengembalikan pandangannya ke laut.
“Biaya untuk masuknya dengan gaji yang saya dapat selama 18 tahun tidak balik modal! Walau saya tau itu kesalahan saya sendiri. Betapa tidak bodohnya saya? Harus membayar mahal untuk mendapatkan seragam coklat itu! Lalu melakukan aktifitas yang sama, berangkat pagi, duduk-duduk, pulang sore. Telat sedikit langsung dihardik atasan, walau kadang-kadang atasan saya jauh lebih sering telat ketimbang saya. Bodohkan saya? Sudah bayar mahal-mahal eh masih saja diperintah sana-sini. Enak jadi nelayan, liat laut, berangkat sesuka hati, pulang sesuka hati. Siapa yang mau marah? Dan nelayan tidak pernah mendapat tatapan sinis dan penuh kecurigaan dari tetangga sebelah rumah. Beda dengan menjadi polisi, beli tv baru saja tetangga sudah menyindir lebih seratus kali, itu yang membuat saya mengundurkan diri.” Ceritanya panjang lebar.
Betul juga penjelasannya. Aku juga takbegitu suka polisi, berbicarapun malas, apalagi motorku yang hilang dulu juga takpernah kembali walau sudah aku laporkan ke kepolisian terdekat.
“Jangan mau jadi PNS! Kerjanya pagi, pulang sore, melakukan hal yang sama setiap hari! Mending bikin usaha sendiri!” lanjutnya sambil tetap tekbergerak.
Aku diam, taklagi mampu berkata-kata apalagi. Laut masih surut, gelombang masih susul-menyusul beriringan membelai pasir yang membisu. Batu-batu karang masih menyimpan setuja misteri. Sepasang kepiting masih berkejaran di atas pasir dekat batu karang. Aku tak bisa menolak apa yang dikatakannya, dan aku juga tak bisa menerima begitu saja dengan kalimatnya. Aku diam, meliriknya sekali lagi.
“Aku memilih ini karena aku ingin lebih sering bersama orang-rang yang aku cintai!” Pelan lelaki yang mengaku mantan anggota Polri itu melangkahkan kakinya menuju air lain, masuk semakin dalam. Aku masih terdiam pada posisi yang sama ketika dia mulai melemparkan jala. Lemparan demi lemparan membuahkan hasil walau satu atau dua ekor saja ikan yang dia dapatkan. Terus, terus dia menuju ke arah selatan, menelusuri tepi pantai yang masih surut. Aku terdiam, membisu pada titik yang sama.
Tak ada lagi sahabat untuk berbagi cerita, dia sudah menjauh. Tak ada lagi teman untuk bicara, dia telah menjauh. Namun kalimat terakirnya begitu menusuk ke dalam hatiku. “Aku memilih ini karena aku ingin lebih sering bersama orang-rang yang aku cintai!”
“Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku. Saat ku harus bersabar dan trus bersabar. Menantikan kehadiran dirimu. Entah sampai kapan aku harus menunggu. Sesuatu yang sangat sulit tuk ku jalani. Hidup dalam kesendirian sepi tanpamu. Kadang ku berfikir cari penggantimu. Saat kau jauh disana.” Aku tersenyum mendengar lirik lagu Aishiteru itu. Kubiarkan saja ponsel kecil di saku celana pendekku itu terus berbunyi berkali-kali. Tak ingin aku menerima panggilan masuk yang entah dari siapa. Malas aku kalau harus berbicara tak jelas pagi-pagi gini. Pagi hari enaknya itu menikmati secangkir kopi.
Besok aku akan kembali ke Jogja lagi setelah 2 bulan berada di pulau Kalimantan bagian timur ini. Banyak sudah yang aku dapatkan, pelajaran hidup dan tentu saja rasa kangen yang begitu menggebu. Kangen itu mahal harganya, kangen itu tak bisa ternilai. Bahkan samudra luas ini tak mampu membayar rasa kangenku. Kuamati sekali lagi pulau kecil dengan pohon lebat di atasnya. Kuamati sekali lagi batu karang dan gelombang yang membelai pasir dengan tulus. Apakah cinta itu sepeti gelombang laut yang akan selalu pasang dan surut pada waktunya? Apakah cinta itu seperti seperti batu karang? Yang akan kelihatan ketika surut dan akan terendam air laur ketika pasang? Apakah cinta itu setulus pasir pantai, yang akan dibelai sang air ketika pasang dan ditinggalkan begitu saja ketika surut? Entahlah…
Jika aku bisa memilih aku akan memilih menjadi air, yang bisa pasang dan surut. Tidak menjadi karang yang diam mebisu, tidak juga menjadi pasir yang didatangi dan ditinggalkan begitu saja oleh gelombang. Tapi semua punya pilihan, seperti apa yang dilakukan nelayan itu, tak salah jika dia memilih menjadi nelayan ketimbang menjadi ‘PNS tak jelas’. “Kau benar dengan pendapatmu pak!” aku berbalik arah, menuju tempatku semula. Kursi plastik di belakang rumah dan secangkir kopi yang mulai dingin. Kembali kunikmati pemandangan indah ketika laut surut.
“Oh ya, jangan salahkan pasanganmu ketika cintanya tiba-tiba begitu menggebu, atau ketika cintanya tiba-tiba menyurut. Ini hidup kapan, waktu berpengaruh terhadap apa yangada di hati. Selamat pagi!”



Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Ketika laut surut " Sebuah Cerpen""


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress