Dan Dingin Itu...


1. Dan Dingin Itu...


Suatu malam di penghujung tahun 2009...
Langkah kakinya pelan, penampilannya sederhana namun terkesan begitu rapi. Celana panjang Exclusive hitam dipadu dengan kemeja putih tulang, syal batik warna sogan bermotif klasik melingkar di lehernya. Sepatu kulit hitam Trendy made in Bandung itu tampak mengkilap, membuat langkahnya tampak sempurna sebagai seorang pria. Matanya tajam menatap ke depan, tegap. Lampu-lampu hias berderet tersusun sempurna. Alunan langgam Jawa terdengar begitu merdu menyejukkan hati serta menambah kesan tradisisiol yang abadi. Bangunan rumah Joglo besar itu semakin indah dengan berbagai produk batik dan craft yang di pajang pada sudut-sudut tertentu. Han terus berjalan, dia hanya tersenyum ketika seorang pelayan membungkuk hormat. Senyum keduanya menggambarkan sebuah keakraban tersendiri, sepertinya mereka sudah saling mengenal, atau setidaknya telah beberapa kali bertemu. Ruangan Joglo itu telah dilewatinya, langkahnya pelan, menuju resto kebun yang ada di bagian belakang bangunan Joglo utama. Seorang wanita berperawakan ramping sepertinya menjadi tujuan utama pria muda itu. Ada senyum mengembang yang menyambut Han dari balik jilbab hitam yang dikenakannya. Yang lebih menarik untuk dipandang adalah selendang batik yang dengan sempurna menjadi penghias sekaligus pelindung dingin yang seakan melekat di pundaknya. Duduknya tenang, tersiram cahaya temaram lampu hias. Suasana yang begitu indah.
“Assalamualaikum,” sapa Han pelan sembari duduk di hadapan gadis itu.
“Waalaikumsalam, tumben datangnya tidak telat mas?” sahutnya masih dengan senyum yang tersungging tipis.
“Ah, bisa saja. Aku masih begitu terpesona dengan bangunan ini, indah, memukau, unik, dan seabrek kalimat lain yang susah untuk di gambarkan,” Han membetulkan letak kursi kayu yang baru saja didukuinya agar menjadi lebih nyaman.
“Ya, selalu saja begitu kalimat pembukamu setiap kali kita ketemu! Tidak ada kata-kata lain?” sahut perempuan itu sembari menyodorkan sebuah map warna coklat pada Han.
“Terus terang, ketika kakiku naik tangga pertama bangunan yang menuju Joglo itu, aku seperti memasuki kraton Majapahit.” Han tersenyum, menyambut map coklat yang di sodorkan lawan bicaranya.
“Mau makan apa?”
”Makan apa saja asal menu Indonesia semua akan menjadi begitu nikmat, melebur dalam atmosfer tempo dulu di antara bangunan kuno Limasan dan Joglo itu, iringan alunan gamelan menambah nafsu makan! Apalagi dengan suasana eksotis kampung masa lampau! Semua pasti menjadi enak,” guman Han sekali lagi.
“Sudah ah! Bosen aku mendengar kalimatmu!”
Alunan gamelan dari pengeras suara itu tiba-tiba meredup, sayup-sayup lalu menghilang. Han tersenyum sembari memperhatikan sekelompok musisi yang kini tampak siap memainkan musik dari ruang Limasan yang tidak jauh dari tempat duduk mereka berdua.
“Suka musik keroncong?”
“Alhamdulilah aku menyukai semua jenis musik!” sahut Han sembari menyandarkan tubuhnya pada kursi antik yang dibuat sekitar tahun1930, berbahan kayu jati, berwarna coklat tua dengan paduan anyaman rotan yang menghantarkan rasa nyaman dari tulang belakang hingga ke ubun-ubun.
“Inilah yang menarik dari Sogan Village!”
“Ya, dan itu semua berasal dari kecerdasan otakmu yang mampu memadukan tradisi, kebersamaan, keindahan, bisnis dan tentunya keimanan! Dan kecerdasan itulah yang memaksaku harus datang ke sini!”
“Allah, Mas Han, semua ini dari Allah,” guman perempuan itu masih dengan senyum simpulnya.
Han menarik nafas panjang, ada senyum yang mengembang dari bibirnya. Ada binar bahagia yang diantarkan oleh seraut wajah ayu di hadapannya. Ada keunikan yang membuat siapa saja akan betah duduk di sana, apalagi dengan seseorang yang begitu sempurna diciptakan sebagai wanita. Cerdas, pandai, cantik luar dan dalam, keturunan keluarga terhormat, dan tentunya seorang wanita karier. Sekalilagi Han menatap sekelilingnya, tepat di belakangnya adalah bangunan Joglo utama, di samping kanannya adalah bangunan kuno yang dulunya gudang untuk pengovenan tembakau namun kini disulap menjadi dapur utama, di hadapannya berdiri megah bangunan limasan yang konon dibangun pada tahun 1854. Pesona indah itu masih ditambah dengan kursi dan meja kayu yang tertata rapi dengan hiasan dan lampu-lampu taman yang temaram mempesona. Han tiba-tiba saja teringat sabda Rasulullah, "Wanita itu dinikahi karena 4 hal : karena kecantikannya, karena keturunannya, karena kekayaannya, dan karena agamanya. Menangkanlah dengan memilih agamanya maka taribat yadaaka -kembali kepada fitrah atau beruntung-."


* * *




Dini hari 2003...
Semilir angin seakan tak bersahabat. Pelan namun pasti menembus permukaan kulit, menusuk hingga tulang sumsum yang terdalam. Dingin membeku. Angin semilir itu seakan membawa butir-butir air dingin. Berembun. Jendela kayu tanpa ukiran itu masih terbuka, membuat angin dingin bebas merayap masuk. Kala itu Han masih tampak nanar gelisah mencari-cari sesuatu yang sepertinya tidak juga ditemukannya. Selembar surat yang kamarin dibaca, kini entah di mana keberadaannya. Sederet kalimat yang tertulis pada lembaran coklat itu sungguh dicari-cari dan sungguh-sungguh diharapkan untuk bisa dibaca sekali lagi sebelum lelapnya menembus sekujur tubuhnya malam ini. Mengantarnya dalam mimpi. Sekali lagi Han menyingkap bantal dan guling yang terbujur kaku, membisu tak pernah mau berbisik kepadanya. Untuk kesekian kalinya Han melangkah mendekat lemari kayu dan membuka pintunya dengan tergesa. Setumpuk baju-baju yang terlipat tak rapi itu diacak-acak untuk kesekian kalinya pula. Tak jua dia menemukan sesuatu yang diharapkan.
Sepi.
Han sadar dini hari yang sudah sangat sepi itu seharusnya dia sudah tidur, namun dia harus menemukan lembaran surat itu. Dia harus membacanya sebelum memejamkan mata untuk kemudian bangun di esok pagi yang cerah. Sepertinya dia telah kecanduan oleh deret-deret goresan tangan itu, kalimat-kalimat yang terangkai di sana seperti sebuah mantra yang lebih dasyat dari lagu Ninabobo, melelapkan. Pikirannya menjadi begitu gelisah ketika tidak membaca sekali lagi walau dia sendiri telah lupa telah berapa kali membacanya. Keputusan itu harus segera diterima, harus dan inilah jalan satu-satunya. Menikah. Han merasa dia lebih dari cukup untuk dikatakan dewasa. Usianya 20 tahun, Dek Indah 19 tahun. Han pasti bisa dan mampu!
Benaknya melayang pelan menembus langit-langit usang berdebu di ruangan 4 kali 3 kamar ini. Laba-laba kecil terdiam di jaringnya yang kemarin sore sebenarnya telah dirusak dengan sapu ijuk oleh pemuda itu. Tapi pagi ini dia kembali bertengger di jaring barunya. Laba-laba kecil saja bisa mengatasi masalah hidupnya, kenapa pemuda sepertinya tidak? Han lalu menutup jendela. Terpaku sejenak menatap sekelilingnya, berusaha mengingat sesuatu.
Hening.
Han akhirnya bisa bernafas lega, kasur kapuk ini ternyata yang menyimpan selembar surat itu di bawahnya. Dengan pelan Han merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tiga buah bantal kumal disusunnya menjadi satu sebagai penopang kepala. Dibacanya sekali lagi surat itu, entah untuk yang keberapa kalinya.

Jogja Terbalut Rindu
Untukmu Yang Menungguku
Disudut Sepi Rasa Hati



Hanny...sedetik ini nafasku terhenti ketika aku membaca suratmu. Santun, penuh rayuan namun begitu membuatku tersentak. Batas senja ujung barat merona merah setiap sore, aku menatapnya dengan tajam berharap selalu kamu yang menemaniku. Sudut kamar ini sepi, hanya ada fotomu. Salam hangat sehangat mentari pagi yang membangunkanmu dari mimpi. Selalu bisikan kata cinta sebagai penyambung lidah indah untuk memulai kata-kata...baik sebatas mimpi maupun di ujung kesadaran.
Hanny...menikah adalah sebuah keputusan yang telah kita sepakati sejak awal. Menikah adalah sebuah komitmen dasar yang melingkarkan kita pada ikatan ketulusan hati dan sayang. Aku sadar, kita berdiri di tengah gelombang searah yang mencekam. Aku takut sebenarnya untuk menantangnya, namun ada kamu dengan senyum tulus itu. Senyum yang kami pinjam dari Arjuna, memukau dan selalu menggetarkan hatiku setiap aku mengingatnya. Aku takut sebenarnya, namun ada kamu dengan sentuhan lembut itu, sentuhan lembut yang kamu pinjam dari Prabu Angkling Darma. Aku juga sangat takut ketika gelombang itu semakin besar, lebih besar dari badai laut selatan yang mengamuk di malam Satu Sura, namun aku masih lebih takut jika kamu tidak mendekapkmu lebih erat.
Hanny...jika memang Tuhan telah mentakdirkan kita untuk menikah saat ini, aku terima itu. Jika engkau wahai pangeran hatiku, meminangku hari ini, aku terima itu. Wahai engkau senyum simpul kesederhanaan, jika memang engkau mempersuntingku detik ini, aku menyambutnya dengan sejuta kasih. Aku rela, aku iklas untuk menjadi pendampingmu. Aku rela untuk menemani desah nafasmu. Aku iklas untuk selalu bersamamu dalam suka maupun duka. Karena aku milikmu. Dan hanya Dia yang bisa memisahkan kita.
Hanny....jika memang semua harus seperti ini, tetaplah tersenyum. Yakinlah bahwasanya Tuhan Maha Adil. Dia punya rencana di balik semuanya. Sebagai kekasihmu, aku meminta maaf atas keluargaku yang telah begitu memusuhimu. Aku mohon sayangi mereka seperti engkau menyayangiku. Sambutlah kemarahan mereka dengan senyummu itu. Taklukkan mereka dengan tatapan matamu yang indah berbinar bening itu. Aku juga sadar, hanya pernikahan kita yang bisa mengakhiri semua masalah ini. Jika memang jalan kita nanti penuh kerikil, marilah kita melewatinya dengan pelan dan hati-hati. Jika memang jalan kita di tepi jurang, peganglah erat tanganku dan tataplah lurus kedepan, jangan melihat ke bawah sana yang penuh tebing terjal. Hanny....seikat senyum dan beribu-ribu bait doa selalu aku kumandangkan untukmu. Di sela sujudku ada air mata cinta untukmu.
Dan yakinlah...aku masih milikku dengan segala apa yang aku miliki. Sebagai penghantar senyum untuk tidur. Percayalah semua keperluan untuk pernikahan kita itu semuanya telah aku siapkan.
Datanglah ke sini dengan senyum dan busungkan dadamu sejenak, kamu telah memikatku dengan cinta yang kau hantarkan lewat senyum yang tidak pernah bisa aku lupakan. Sebagai salam rindu tersipu aku mengecup lembut bibirmu...

Wassalam.

Kekasihmu Yang Tersipu
Indah Pratiwi



CATATAN:
BAB I: Dari Naskah Novel dengan judul SENDIRI ITU DINGIN::: Silahkan di kasih komentar dan di tunggu kelanjutannya (Insyaalah Akan Segera Terbit) Mohon doa restunya.....


Sedikit Saja... Baca Selengkapnya…

Hanya rasa syukur yang tiada terhingga kehadirat Allah SWT, karena limpahan karunia-Nyalah saya bisa menulis, menulis dan menulis lagi. Seperti sebuah keindahan yang tiada batas.
¬ Novel ini khusus teruntuk seorang sahabat Di Sanggar Misteri Darikem Indonesia; Teguh t-Koes Wicaksono. Alm. Aku gunakan judul lukisanmu ‘Sendiri itu dingin’, sebagai rasa hormat, sebagai ungkapan terimakasih atas beribu kata yang sering kau ucapkan untukku, sebagai sebuah kenang-kenangan dan sebagai tanda sayangku padamu serta sebagai ucapan terimakasih atas ilmu menulis yang engkau turunkan kepadaku. Juga atas doktrin setiap helai nafasmu bahwasanya ‘Berhenti Berkarya Berarti Mati!’ dan selamat jalan kawan, kita akan selalu bertemu pada sebuah muara yang misteri ketika malam menjelang.

Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

2 komentar untuk "Dan Dingin Itu..."

Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress