Catatan Jomblo Melas



“Dulu sudah aku bilangin, Ndik, kamu itu harus konsisten melas sebab itu karakter kuatmu! Sekarang malah bergaya ustad ya nggak cocok...ga dapet feelnya jadi berasa hambar to?”

Begitulah ucap Edi Alkhiles sahabatku yang kaya raya, yang rekeningnya menggelembung segunung Galungggung tapi dia tetap rendah hati dan mau menerimaku yang melas ini di ruangan khusus perusahaannya. Tak peduli celana dekilku, tak peduli aroma kecut keringatku, tak pedulu bau bacin dari pakaian kotor yang aku bawa dengan tas kresek bekas bungkus ikan asin ini. Ruangan ber AC dengan permadani ARAB yang dibelinya langsung dari ALADIN ketika dia Umroh untuk yang ke 99 kalinya. Nah loh? Padahal aku mengenalnya dulu, dulu sebelum rekeningnya tiba-tiba saja sudah tidak terhitung dia itu melas juga ternyata. Masih aku ingat dia tinggal di rumah kecil di sebuah gang, aku tidak tau pasti apakah rumah itu ngontrak atau minjem, yang jelas aku bertemu dengannya di teras rumah yang dipaksakan untuk jadi kantor, ya sekitar 7 tahun yang lalu, aku anggap Edi Alkhiles itu bukan apa-apa. Eh ujuk-ujuk sudah punya ruangan sendiri yang pake AC dan permadani ARAB yang dibelinya dari ALADIN… Belum lagi karyawannya sudah nyebar dari Sabang Sampai Merauke kecuali Timur-Timur. “Hebat…” batinku sambil membuka sebungkus Marlboro merah yang sudah disediakan untukku.

“Yang penting, dalam bekerja itu SEMKUR,” katanya mengawali pembicaraan.

“Apa itu SEMKUR?” aku mengerutkan dahi.

“Semangat dan Syukur,” katanya.

“OH…. SEMUR….,” kataku.

“Loh? SEMKUR kok jadi SEMUR,” dia mengerutkan dahi juga.

“Semangat, senyum dan syukur,” kataku.

Aku duduk di kursi empuk di sudut ruangannya, kuangkat kakiku sebelah, kuletakkan sebelah tanganku pada sandaran kursi, angkuh. Benar-benar akuhnya diriku dengan pose itu, sumpah. Buru-buru aku menurunkan kaki dan tanganku, duduk mengempit kedua tanganku di antara paha, melas gitu deh. Wajahku tiba-tiba berubah melas dengan tiba-tiba ketika dia mendekat, duduk di kursi tepat di depanku. Mungkin aura milyiader itu membuatku tiba-tiba sedikit takut dengannya. Eh padahal siapa sih dia itu?

“Bla…bla…bla…bla…,” obrolan kalimat demi kalimatnya mulai meluncur.

“Ya… Pak… Ya Pak… Njih…,” begitu saja sedekah komentarku.

Tujuanku datang kali ini sebernarnya membawa visi dan misi yang cukup berat bagi hatiku, ya aku ingin curhat sebenarnya. Mencurahkan isi hatiku padanya, pada sahabat lamaku itu. Oh ya dalam hal ini sabahat lama yang aku maksud adalah orang yang aku kenal sedikit beberapa tahun lalu kami akrab kembali setelah ada teknologi BBM. Di sanalah kami nggerumpi biasanya, lewat benda kecil canggih buatan luar negeri itu. Lewat BBM itulah aku sering mencurahkan isi hatiku yang gundah gulana padanya, entah kenapa juga aku curhat padanya, mungkin karena aku suka solusi konyolnya.

“Duh Pak, dadaku nyesek banget neh,” kataku.

“Kenapa lagi Mas?” sahutnya prihatin.

“Biasalah, soal hati,” kataku singkat malu-malu.

“Oh… bunuh diri aja, tuh nelen lombok sekilo,” solusinya.

“Wah masalahnya Lombok lagi mahal Pak, sekilo sekarang 90 ribu,” ucapku tulus.

“Ya sudah beli saja 10 kg, nanti uangnya aku kasih. Kalau sudah mati cerita ya, gimana rasanya bunuh diri,” lanjutnya.

“Njih Pak, iya… iya…” kataku lirih menerima solusinya.

Aku kembali duduk, diam membisu mematung kayak tugu usang berlumut yang roboh kunduran Truk pengangkut cabe. Hatiku benar-benar remuk redam oleh apa itu yang namanya cinta. Wajahku menjadi begitu kupret, jelek dan menjemukan dipandang. Lebih dari 10 menit aku mematung.

“Hmmm… bentar mas,”

Pria setengah muda yang aku katakana cukup ganteng itu melangkah, medekati mejanya. Duduk sejenak di kursi empuknya yang bisa naik turun dan muter-muter itu. Tangannya disembunyikan di balik meja, seakan merapal mantra. Aku berharap dia memberikanku segelas air kembang yang sudah di jampi-jampi dan dimantrai olehnya. Tak lama kemudian dia kembali dengan sebuah amplop.

“Ini buat beli lombok,” disodorkannya amplop itu padaku.

“Begitu?” tanyaku kaget.

“Ya… ya… pulanglah, mampir pasar beli sepuluh kilo ya,” katanya dengan senyum. Tak lupa tangan kanannya menepuk bahuku.

“Iya,” aku mengangguk pelan.

“Jomblo bukan berati tak lagi kawan!” dia menepuk bahuku.

Gila… setelah aku keluar dari ruangannya, aku membuka amplop itu, benar-benar cukup untuk beli Lombok satu kilo. Satu juta guys yang dia berikan padaku. Alhamdulillah, bisa buat hidup sebulan kedepan deh! Eit, curhat saja digaji sejuta, apalagi kalau kerja? Nah lo…

Melas, sebuah kalimat yang sering kita dengar. Melas identik dengan buluk, kucel, dekil bau dan lain-lain. Eit jangan salah, ternyata melas itu adalah sebuah aliran ilmu baru… namanya MELASISME di mana aliran ini merupakan sebuah gerakan memelaskan diri guna mendapatkan kebahagian yang memuncak sampai ubun-ubun. Berbeda dengan teori-teori para pakar Psikolog kayak Max Wertheimer, Carl Rogers, apalagi dengan teor iSigmund Freud tentang Konsep Id, Ego, dan Superego .Beda, beda banget deh pokoknya. Melas merupakan sebuah sikap sederhana yang ditampilkan golongan MELAISME guna mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan sesuatu dengan kesadaran dan keiklasan yang mutlak dan telak. Melas bukanlah dekil, bau, atau kucel. Melasisme itu lebih kepada perilaku dan sikap serta tutur bahasa yang memang dibuat semelas mungkin sehingga orang lain tertarik lalu mau mengiklaskan dirinya untuk berbuat sesuatu kepada si melas itu.

Karakter melas bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, ketika kamu tidak pernah merasakan sebuah rasa sakit yang sesakit-sakitnya, jika kamu tidak pernah putus cinta seputus-putusnya, jika kamu tidak pernah menangis hidupmu senangis-nangisnya niscaya kamu tidak akan bisa menjadi manusia dengan karakter melas.

Menjadi melas itu lebih baik ketimbang menjadi congkak dan angkuh. Menjadi melas itu lebih sederhana ketimbang menjadi orang yang sombong bin landen. Jika saja aku datang, masuk keruangannya dengan sombong, ketika tidak segera aku turunkan kaki dan tangaku lalu mengempitnya aku yakin tidak akan dapat uang satu juta itu. Mungkin kecil baginya, tapi besar bagiku. Dan sejak itu, aku memilih untuk menjadi Jomblo Melas, tersenyum kecil lalu mengangguk pelan ketika di ajak bicara. Tersenyum kecil lalu mengiyakan ketika lawan bicaraku bicaraku bicara. Tidak pernah aku melontarkan debat kusir ala kuda, cukup di iyakan saja sambil sesekali melontarkan kalimat melas yang menohok. So? Melaskan dirimu semelas melasnya, jangan menyombongkan dirimu sesombong, sombongnya karena didalam kemelasan itu ada kekuatan dasyat…





Ambon Manise

Pagi selepas Subuh pada bulan Mei 2011


Salam Budaya:

Endik Koeswoyo
Jl. Gedong Kiwo No: 29 Yogyakarta.
email: endik_penulis@yahoo.com
twitter @endikkoeswoyo

Mari Mencintai Indonesia Apa Adanya


MANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Catatan Jomblo Melas"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress