Prabu Jayabhaya



Cover Buku: Kisah Raja-Raja Legendaris Nusantara
Tahun Terbit: 2009
Waktu Riset dan Penulisa: Antara Tahun 2004-2009

Prabu Jayabhaya dan Ramalannya yang melegenda
Entah kenapa hari ini tiba-tiba saya membaca buku yang pernah saya tulis beberapa tahun yang lalu, buku ini berjudul Kisah legendaris raja-Raja Nusantara...
Dalam Buku itu ada satu Bab yang saya baca berulag-ulang, berikut ini adalah Bab VIII- Tentang Jayabhaya, ramalan demi ramalan itu seakan menjadi sebuah kisah nyata di Jaman sekarang.


BAB VIII. Prabu Jayabhaya
KERAJAAN KADIRI



Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157 Masehi. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang tahun 1135 Masehi, prasasti Talan 1136 Masehi, dan prasasti Jepun 1144 Masehi, serta Kakawin Bharatayuddha 1157 Masehi. Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya ‘Kadiri menang’. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala . Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Kurawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157 Masehi.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta tahun 1178 Masehi. Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II sekitar tahun 1044 Masehi yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 Masehi atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang tahun 1135 Masehi, yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178 Masehi, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya. Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat. Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.

Ramalan Jayabaya

1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran (Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda)
2. Tanah Jawa kalungan wesi (Pulau Jawa berkalung besi)
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang (Perahu berlayar di ruang angkasa)
4. Kali ilang kedhunge (Sungai kehilangan lubuk)
5. Pasar ilang kumandhang (Pasar kehilangan suara)
6. Iku tandha yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak (Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat)
7. Bumi saya suwe saya mengkeret (Bumi semakin lama semakin mengerut)
8. Sekilan bumi dipajeki (Sejengkal tanah dikenai pajak)
9. Jaran doyan mangan sambel (Kuda suka makan sambal)
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang (Orang perempuan berpakaian lelaki)
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman (Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik)
12. Akeh janji ora ditetepi (Banyak janji tidak ditepati)
13. Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe (Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri) * Manungsa padha seneng nyalah (Orang-orang saling lempar kesalahan)
14. Ora ngendahake hukum Allah (Tak peduli akan hukum Allah)
15. Barang jahat diangkat-angkat (Yang jahat dijunjung-junjung)
16. Barang suci dibenci (Yang suci (justru) dibenci)
17. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit (Banyak orang hanya mementingkan uang)
18. Lali kamanungsan (Lupa jati kemanusiaan)
19. Lali kabecikan (Lupa hikmah kebaikan)
20. Lali sanak lali kadang (Lupa sanak lupa saudara)
21. Akeh bapa lali anak (Banyak ayah lupa anak)
22. Akeh anak wani nglawan ibu (Banyak anak berani melawan ibu)
23. Nantang bapa (Menantang ayah)
24. Sedulur padha cidra (Sudara dan saudara saling khianat)
25. Kulawarga padha curiga (keluarga saling curiga)
26. Kanca dadi mungsuh (Kawan menjadi lawan)
27. Akeh manungsa lali asale (Banyak orang lupa asal-usul)
28. Ukuman Ratu ora adil (Hukuman Raja tidak adil)
29. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil (Banyak pejabat jahat dan ganjil)
30. Akeh kelakuan sing ganjil (Banyak ulah-tabiat ganjil)
31. Wong apik-apik padha kapencil (Orang yang baik justru tersisih)
32. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin (Banyak orang kerja halal justru malu)
33. Luwih utama ngapusi (Lebih mengutamakan menipu)
34. Wegah nyambut gawe (Malas menunaikan kerja)
35. Kepingin urip mewah (Inginnya hidup mewah)
36. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka (Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka)
37. Wong bener thenger-thenger (Si benar termangu-mangu)
38. Wong salah bungah (Si salah gembira ria)
39. Wong apik ditampik-tampik (Si baik ditolak ditampik)
40. Wong jahat munggah pangkat (Si jahat naik pangkat)
41. Wong agung kasinggung (Yang mulia dilecehkan)
42. Wong ala kapuja (Yang jahat dipuji-puji)
43. Wong wadon ilang kawirangane (Perempuan hilang malu)
44. Wong lanang ilang kaprawirane (Laki-laki hilang perwira/kejantanan/harga diri)
45. Akeh wong lanang ora duwe bojo (Banyak laki-laki tak mau beristri)
46. Akeh wong wadon ora setya marang bojone (Banyak perempuan ingkar pada suami)
47. Akeh ibu padha ngedol anake (Banyak ibu menjual anak)
48. Akeh wong wadon ngedol awake (Banyak perempuan menjual diri)
49. Akeh wong ijol bebojo (Banyak orang tukar pasangan/selingkuh)
50. Wong wadon nunggang jaran (Perempuan menunggang kuda)
51. Wong lanang linggih plangki (Laki-laki naik tandu)
52. Randha seuang loro (Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen)
53. Prawan seaga lima (Lima perawan lima picis)
54. Dhudha pincang laku sembilan uang (Duda pincang laku sembilan uang)
55. Akeh wong ngedol ngelmu (Banyak orang berdagang ilmu)
56. Akeh wong ngaku-aku (Banyak orang mengaku diri)
57. Njabane putih njerone dhadhu (Di luar putih di dalam jingga)
58. Ngakune suci, nanging sucine palsu (Mengaku suci, tapi palsu belaka)
59. Akeh bujuk akeh lojo (Banyak tipu banyak muslihat)
60. Akeh udan salah mangsa (Banyak hujan salah musim)
61. Akeh prawan tuwa (Banyak perawan tua)
62. Akeh randha nglairake anak (Banyak janda melahirkan bayi)
63. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne (Banyak anak lahir mencari bapaknya)
64. Agama akeh sing nantang (Agama banyak ditentang)
65. Prikamanungsan saya ilang (Perikemanusiaan semakin hilang)
66. Omah suci dibenci (Rumah suci dijauhi)
67. Omah ala saya dipuja (Rumah maksiat makin dipuja)
68. Wong wadon lacur ing ngendi-endi (Di mana-mana perempuan lacur)
69. Akeh laknat (Banyak kutukan)
70. Akeh pengkianat (Banyak pengkhianat)
71. Anak mangan bapak (Anak makan bapak)
72. Sedulur mangan sedulur (Saudara makan saudara)
73. Kanca dadi mungsuh (Kawan menjadi lawan)
74. Guru disatru (Guru dimusuhi)
75. Tangga padha curiga (Tetangga saling curiga)
76. Kana-kene saya angkara murka (Angkara murka semakin menjadi-jadi)
77. Sing weruh kebubuhan (Barangsiapa tahu terkena beban)
78. Sing ora weruh ketutuh (Sedang yang tak tahu disalahkan)
79. Besuk yen ana peperangan (Kelak jika terjadi perang)
80. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor (Datang dari timur, barat, selatan, dan utara)
81. Akeh wong becik saya sengsara (Banyak orang baik makin sengsara)
82. Wong jahat saya seneng (Sedang yang jahat makin bahagia)
83. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul (Ketika itu burung gagak dibilang bangau)
84. Wong salah dianggep bener (Orang salah dipandang benar)
85. Pengkhianat nikmat (Pengkhianat nikmat)
86. Durjana saya sempurna (Durjana semakin sempurna)
87. Wong jahat munggah pangkat (Orang jahat naik pangkat)
88. Wong lugu kebelenggu (Orang yang lugu dibelenggu)
89. Wong mulya dikunjara (Orang yang mulia dipenjara)
90. Sing curang garang (Yang curang berkuasa)
91. Sing jujur kojur (Yang jujur sengsara)
92. Pedagang akeh sing keplarang (Pedagang banyak yang tenggelam)
93. Wong main akeh sing ndadi (Penjudi banyak merajalela)
94. Akeh barang haram (Banyak barang haram)
95. Akeh anak haram (Banyak anak haram)
96. Wong wadon nglamar wong lanang (Perempuan melamar laki-laki)
97. Wong lanang ngasorake drajate dhewe (Laki-laki memperhina derajat sendiri)
98. Akeh barang-barang mlebu luang (Banyak barang terbuang-buang)
99. Akeh wong kaliren lan wuda (Banyak orang lapar dan telanjang)
100. Wong tuku ngglenik sing dodol (Pembeli membujuk penjual)
101. Sing dodol akal okol (Si penjual bermain siasat)
102. Wong golek pangan kaya gabah diinteri (Mencari rizki ibarat gabah ditampi)
103. Sing kebat kliwat (Siapa tangkas lepas)
104. Sing telah sambat (Siapa terlanjur menggerutu)
105. Sing gedhe kesasar (Si besar tersasar)
106. Sing cilik kepleset (Si kecil terpeleset)
107. Sing anggak ketunggak (Si congkak terbentur)
108. Sing wedi mati (Si takut mati)
109. Sing nekat mbrekat (Si nekat mendapat berkat)
110. Sing jerih ketindhih (Si hati kecil tertindih)
111. Sing ngawur makmur (Yang ngawur makmur)
112. Sing ngati-ati ngrintih (Yang berhati-hati merintih)
113. Sing ngedan keduman (Yang main gila menerima bagian)
114. Sing waras nggagas (Yang sehat pikiran berpikir)
115. Wong tani ditaleni (Si tani diikat)
116. Wong dora ura-ura (Si bohong menyanyi-nyanyi)
117. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane (Raja ingkar janji, hilang wibawanya)
118. Bupati dadi rakyat (Pegawai tinggi menjadi rakyat)
119. Wong cilik dadi priyayi (Rakyat kecil jadi priyayi)
120. Sing mendele dadi gedhe (Yang curang jadi besar)
121. Sing jujur kojur (Yang jujur celaka)
122. Akeh omah ing ndhuwur jaran (Banyak rumah di punggung kuda)
123. Wong mangan wong (Orang makan sesamanya)
124. Anak lali bapak (Anak lupa bapa)
125. Wong tuwa lali tuwane (Orang tua lupa ketuaan mereka)
126. Pedagang adol barang saya laris (Jualan pedagang semakin laris)
127. Bandhane saya ludhes (Namun harta mereka makin habis)
128. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan (Banyak orang mati lapar di samping makanan)
129. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara (Banyak orang berharta tapi hidup sengsara)
130. Sing edan bisa dandan (Yang gila bisa bersolek)
131. Sing bengkong bisa nggalang gedhong (Si bengkok membangun mahligai)
132. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil (Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih)
133. Ana peperangan ing njero (Terjadi perang di dalam)
134. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham (Terjadi karena para pembesar banyak salah faham)
135. Durjana saya ngambra-ambra (Kejahatan makin merajalela)
136. Penjahat saya tambah (Penjahat makin banyak)
137. Wong apik saya sengsara (Yang baik makin sengsara)
138. Akeh wong mati jalaran saka peperangan (Banyak orang mati karena perang)
139. Kebingungan lan kobongan (Karena bingung dan kebakaran)
140. Wong bener saya thenger-thenger (Si benar makin tertegun)
141. Wong salah saya bungah-bungah (Si salah makin sorak sorai)
142. Akeh bandha musna ora karuan lungane (Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe Banyak harta hilang entah ke mana, Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa)
143. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram (Banyak barang haram, banyak anak haram)
144. Bejane sing lali, bejane sing eling (Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar)
145. Nanging sauntung-untunge sing lali (Tapi betapapun beruntung si lupa)
146. Isih untung sing waspada (Masih lebih beruntung si waspada)
147. Angkara murka saya ndadi (Angkara murka semakin menjadi)
148. Kana-kene saya bingung (Di sana-sini makin bingung)
149. Pedagang akeh alangane (Pedagang banyak rintangan)
150. Akeh buruh nantang juragan (Banyak buruh melawan majikan)
151. Juragan dadi umpan (Majikan menjadi umpan)
152. Sing suwarane seru oleh pengaruh (Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh)
153. Wong pinter diingar-ingar (Si pandai direcoki)
154. Wong ala diuja (Si jahat dimanjakan)
155. Wong ngerti mangan ati (Orang yang mengerti makan hati)
156. Bandha dadi memala (Hartabenda menjadi penyakit)
157. Pangkat dadi pemikat (Pangkat menjadi pemukau)
158. Sing sawenang-wenang rumangsa menang (Yang sewenang-wenang merasa menang)
159. Sing ngalah rumangsa kabeh salah (Yang mengalah merasa serba salah)
160. Ana Bupati saka wong sing asor imane (Ada raja berasal orang beriman rendah)
161. Patihe kepala judhi (Maha menterinya benggol judi)
162. Wong sing atine suci dibenci (Yang berhati suci dibenci)
163. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat (Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa)
164. Pemerasan saya ndadra (Pemerasan merajalela)
165. Maling lungguh wetenge mblenduk (Pencuri duduk berperut gendut)
166. Pitik angrem saduwure pikulan (Ayam mengeram di atas pikulan)
167. Maling wani nantang sing duwe omah (Pencuri menantang si empunya rumah)
168. Begal pada ndhugal (Penyamun semakin kurang ajar)
169. Rampok padha keplok-keplok (Perampok semua bersorak-sorai)
170. Wong momong mitenah sing diemong (Si pengasuh memfitnah yang diasuh)
171. Wong jaga nyolong sing dijaga (Si penjaga mencuri yang dijaga)
172. Wong njamin njaluk dijamin (Si penjamin minta dijamin)
173. Akeh wong mendem donga (Banyak orang mabuk doa)
174. Kana-kene rebutan unggul (Di mana-mana berebut menang)
175. Angkara murka ngombro-ombro (Angkara murka menjadi-jadi)
176. Agama ditantang (Agama ditantang)
177. Akeh wong angkara murka (Banyak orang angkara murka)
178. Nggedhekake duraka (Membesar-besarkan durhaka)
179. Ukum agama dilanggar (Hukum agama dilanggar)
180. Prikamanungsan di-iles-iles (Perikemanusiaan diinjak-injak)
181. Kasusilan ditinggal (Tata susila diabaikan)
182. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi (Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi)
183. Wong cilik akeh sing kepencil (Rakyat kecil banyak tersingkir)
184. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil (Karena menjadi kurban si jahat si laknat)
185. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit (Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit)
186. Lan duwe prajurit (Dan punya prajurit)
187. Negarane ambane saprawolon (Lebar negeri seperdelapan dunia)
188. Tukang mangan suap saya ndadra (Pemakan suap semakin merajalela)
189. Wong jahat ditampa (Orang jahat diterima)
190. Wong suci dibenci (Orang suci dibenci)
191. Timah dianggep perak (Timah dianggap perak)
192. Emas diarani tembaga (Emas dibilang tembaga)
193. Dandang dikandakake kuntul (Gagak disebut bangau)
194. Wong dosa sentosa (Orang berdosa sentosa)
195. Wong cilik disalahake (Rakyat jelata dipersalahkan)
196. Wong nganggur kesungkur (Si penganggur tersungkur)
197. Wong sregep krungkep (Si tekun terjerembab)
198. Wong nyengit kesengit (Orang busuk hati dibenci)
199. Buruh mangluh (Buruh menangis)
200. Wong sugih krasa wedi (Orang kaya ketakutan)
201. Wong wedi dadi priyayi (Orang takut jadi priyayi)
202. Senenge wong jahat (Berbahagialah si jahat)
203. Susahe wong cilik (Bersusahlah rakyat kecil)
204. Akeh wong dakwa dinakwa (Banyak orang saling tuduh)
205. Tindake manungsa saya kuciwa (Ulah manusia semakin tercela)
206. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi (Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai)
207. Wong Jawa kari separo (Orang Jawa tinggal separo)
208. Landa-Cina kari sejodho (Belanda-Cina tinggal sepasang)
209. Akeh wong ijir, akeh wong cethil (Banyak orang kikir, banyak orang bakhil)
210. Sing eman ora keduman (Si hemat tidak mendapat bagian)
211. Sing keduman ora eman (Yang mendapat bagian tidak berhemat)
212. Akeh wong mbambung (Banyak orang berulah dungu)
213. Akeh wong limbung (Banyak orang limbung)
214. Selot-selote mbesuk wolak-waliking jaman teka (Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman)

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya , dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Masehi Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.


Diambil Dari Naskah Asli Kisah Raja-Raja Legendaris Nusantara(sebelum masuk editor)

Salam Budaya:@endikkoeswoyoMari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Prabu Jayabhaya"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress