KEMBANG TIGA WARNA


KEMBANG TIGA WARNA
Malam Ketika Aku Ulang Tahun…


Aku masih terdiam, dalam sudut kamar kesayangan ini. Bentuk kamar ini unik, tidak kotak seperti kamar oada umumnya, ada salah satu sisi yang mempunyai sudut 45 derajat, 75 derajat dan 15 derajat, unik. Tapi tidak susah di bayangkan. Sedari sore aku memilih memejam mata karena beberapa hari ini gigi kesayangangku rasanya kurang bersahabat. Untung masih ada puyer 16 yang mampu meredakan nyeri dan mengantarku ke alam mimpi, sebelum aku terbangun kembali entah karena apa.
Aku jadi teringat masa lalu, yang sudah lama sekali. Dulu, ketika aku hendak ulang tahun, Mak Tua Almarhum selalu menyuruhku berpuasa, beliau menyebutnya “Poso Hari Lahir,” hukumnya wajib. Diawali sejak Subuh sehari sebelum aku ulang tahun, hingga Magrib setelah aku ulang tahun. Lama memang, sekitar 30 jam aku tidak boleh makan, minum dan tidak boleh membunuh seekor binatangpun. Tapi itu dulu, sebelum malaria akut menyerangku. Setelah malaria itu, aku tak lagi kuat berpuasa selama itu. Lambung bengkak, dan jika tak terisi makanan sakitnya bukan kepalang. Aku juga taktau apakah penderita malaria lain mengalaminya sepertiku? Tapi ini bukan soal malaria atau tentang ulang tahun, aku ingin menceritakan tentang pengalaman masakecilku yang selalu ingin meniup lilin, seperti anak-anak tetanggaku yang lain. Tapi sekalipun aku takpernah mendapatkan lilin, dengan sebuah alas an dari Mak Tua “Ulang tahun itu bertambahnya usia berkurangnya umur, jangan engkau rayakan, tapi direnungkan,” kata Mak Tua setiap kali aku meminta lilin. Dan bukan lilin yang aku dapatkan keesokan harinya. Melainkan kembang telon dua bungkus yang dibungkus daun pisang, lalu ketika Magrib tiba, mak tua mengajakku ke sudut halaman rumah kecilnya. Dia membuka kembang itu, mengucapkan doa-doa dalam bahasa jawa dan arab yang campur aduk. Dan hingga kini aku tak tau pasti apa doa yang beliau ucapkan. Aku tak pernah mencatatnya sampai Mak Tua dipanggil Tuhan.
Dulu, sempat sekali ketika aku masih duduk di bangku SMU, kakaku merayakan ulang tahunnya di rumah, itupun ketika Mak Tua tidak di rumah. Alih-alih tiupan lilin, kami malah berpesta dengan minum Bir bersama-sama. Rasanya pahit, aku tidak suka. Tentu saja, keesokan harinya Mak Tua Marah-marah pada kakakku itu. Kakaku hanya tersenyum kecut, sambil ngedumel.”Pacen awake dewe iki wong kere! Ra kuat tuku kue tar! Dadi nek ulang tahun yo mung di tukokne kembang 500! Cukup!” omel kakaku yang memang orangnya agak kaku itu. Aku menghela nafas jika ingat kalimat kakaku itu. Ya, memang kita lahir di kuarga miskin, tak mampu beli kue tar, jadi kalau ada yang ulang tahun Mak Tua yang sebenarnya adalah nenekku itu hanya membelikan kami bunga tiga warna seharga 500 rupiah.
Tapi ini bukan soal kecewa pada keadaan, aku selalu bersyukur dengan apa yang kami terima, kehidupan masa lalu adalah satu hal yang memacuku untuk selalu menjadi yang terbaik, lebih baik, lebih baik dan selalu menjadi lebih baik. Bukan soal kemiskinan yang ingin aku ceritakan, tapi hikmah di balik pesta ulang tahun. Benar, aku setuju dengan kalimat Mak Tua, “Ulang tahun itu bertambahnya usia berkurangnya umur, jangan engkau rayakan, tapi direnungkan.” Jadi salah jika kita merayakan berkurangnya umur, memang sebaiknya kita merenung, apa saja yang telah kita lakukan selama ini? Dan apa yang terjadi sejak aku kecil itu menjadi kebiasaan, bahkan ketika Mak Tua telah tiada, ketika aku benar-benar harus hidup sendiri tanpa ada petuah dari beliau. Ketika hari ulang tahunku tiba, aku menyambutnya dengan renungan. Mak tua benar dengan petuahnya, “Ulang tahun itu bertambahnya usia berkurangnya umur, jangan engkau rayakan, tapi direnungkan.”
Seperti halnya malam ini, bunga tiga warna, aroma dupa dan lantunan tembang Sinom Parijotho menjadi sebuah aroma mistis, menjadi sebuah suasana romantis menyambut malam, menyambut pagi ketika aku dilahirkan 28 tahun yang lalu. Buat sahabat, teman, saudara, rekan-rekan dan siapa saja yang mengenal saya. Mohon maaf jika hari ini tidak ada pesta meriah, tidak ada kue tar, tidak ada makan-makan. Bukan saya pelit, tapi karena itu sudah menjadi kenangan masa lalu. Bahwasanya “Ulang tahun itu bertambahnya usia berkurangnya umur, jangan engkau rayakan, tapi direnungkan.” So, makan-makannya besok ya… jika ada moment yang lebih tepat. Bukan moment ulang tahun. Terimakasih untuk semua yang telah sudi dan berkenan memberi ucapan itu. Terimaksih untuk doa-doa yang anda kirimkan, semoga Allah membalas doa-doa anda dengan kabaikan, kebahagian dan kesuksesan kita bersama. Amien.
Ketika aku menyelesaikan tulisan ini, kakaku yang tertua mengirim sebuah sms dari kota Sampit. Begini sms itu “Met Ultah adikku…Tiada apa yang dapat aku berikan untukmu selain Doa tulusku yang kukirim bersama merdunya Tadarus di Surau tua. Moga Dia yang di atas sana melimpahkan rahmadNya padamu. Walau raga tak selalu bersama, tapi hati kita kan selalu bersama dalam suka maupun duka. Dan sabarlah di dalam keluarga yang langka akan kebersamaan.Moga sukses…”


NB: Kini, aku tidak sendiri, ada sahabat-sahabat yang selalu mendukung, berdiskusi, bercerita, bekerja dan mereka adalah keluargaku. Tapi kebiasaan itu masih sama, tidak ada pesta. Karena bulan ini bulan puasa, maka agenda yang tepat adalah sahur bersama. Yang mau sahur bersama, silahkan datang ke Lookout Picture Indonesia Jl. Swadaya 604 MJ/I Gedong Kiwo, ketika waktu menunjukkan pukul 02.30 WIB. Akan ada makanan yang di sediakan di sana oleh panitia.




Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "KEMBANG TIGA WARNA"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress