TENTANG SEBUAH RASA

TENTANG SEBUAH RASA


Oleh Endik Koeswoyo




Perjalanan waktu tidaklah secepat dengan apa yang aku pikirkan, semua terasa lambat dan teramat sangat membingunkan. Apalagi rasa itu tidak pernah berubah untuk sedetikpun. Rasa pada orang yang sama, dimana dia selalu hadir dan menepikan semua yang aku rasakan. Sepertinya memaksaku untuk selalu teringat padanya. Sebuah rasa tulus yang selalu hadir, detik demi detik…cinta.
……………………………

Aku masih selalu ingat tanggal itu. 16 Juli. Dengan keberanianku yang memuncak, aku melangkahkan kakiku untuk masuk kedalam sebuah ruang kelas. Tangan kananku yang sedikit gemetar memegang sebuah kotak kecil. Tatapan mataku lebih tertuju pada lantai dari pada gadis yang sedang duduk di bangku paling depan itu..
“Dita…met ultah ya!”
Aku tidak berani menatap wajah itu, aku berpaling secepat-cepatnya. Melangkah meninggalkan ruang itu dengan cepat. Aku hampir saja menabrak Pak Bon yang menyapu lantai di depan ruang itu.
“Eh…maaf Pak!”
“Kok tumben Mas, pagi-pagi sudah datang!”
“Ha…ha…,” hanya tawa kecilku yang kuberikan untuk Pak Bon dan sapu lidinya.
Aku sempat melirik Dita yang ada di dalam ruang itu. Dia masih menatapku dengan tatapan aneh. Seakan tidak percaya kalau yang memberikan kado untuknya adalah aku, Gogi Siahaan yang tidak begitu di kenalnya. Seorang remaja yang di kenal banyak orang karena kenakalannya. Sedangkan Dita Natasya banyak di kenal karena dia memang gadis yang cantik dan sempurna menurutku.
Mungkin saat aku memberikan kado ulang untuknya tadi, dia begitu terkejut dan mungkin juga takut melihatku yang sepagi ini telah menghampirinya. Tapi aku rasa tidak ada momen yang tepat untuk mendekat padanya selain hari ulang tahunnya. Aku terlalu takut…
Dita…Aku mungkin hanya salah seorang pemujamu. Tapi aneh apa yang aku rasakan, semua tidak pernah berubah. Selalu saja jantungku berdetak kencang saat aku melihatnya. Aku bukanlah orang yang muafik, aku banyak menyukai gadis lain selain Dita, tapi entah kenapa yang ini teramat sangat lain. Sejak melihatnya pertama kali saat Masa Orientasi Siswa, aku sudah merasakan sesuatu yang lain. Dari balik kerudung putihnya aku seakan melihat sesuatu yang benar-benar sempurna. Begitu sempurnanya hingga aku tidak berani untuk memperkenalkan diriku. Matanya, hidungnya, bibirnya, ah…semuanya begitu mendebarkan untuk dilihat satu demi satu.
Aku hanya berani memandanginya dari jauh, mengamati setiap langkah kecilnya yang pelan, menikmati senyumnya walau itu bukan untukku. Aku sekarang lebih suka duduk di kantin dan menikmati secangkir kopi dipagi hari. Menikmati sebatang rokok yang kemarin kusembunyikan di celah-celah meja kantin. Hanya seperti itu setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan entah sampai kapan kegagumanku padanya akan berakhrir.
“Gi…kamu akhir-akhir ini agak aneh! Kenapa?”
“Eh…kamu Rik! Baru datang?” aku terkejut dengan pertanyaan Riki yang tiba-tiba itu.
“Pertanyaanku saja belum kamu jawab, kok kamu malah bertanya padaku! Ya jelas saja aku baru datang!”
“He…he…tidak ada apa-apa kok, wajarlah orang seperti aku ini banyak pikiran.”
Aku lebih suka menyembunyikan perasaanku pada Dita. Aku tidak ingin orang lain tau kalau aku menyukai gadis itu setengah mati. Waau aku jarang bicara dengannya, walau aku hanya berani melihatnya dari jauh, tapi itu lebih dari cukup. Ada perasaan aneh bila sehari saja aku tidak melihatnya, sepertinya aku kelhilangan sesuatu yang aku sayangi.


* * *


“Dita…met ultah ya!”
Sebenarnya aku ingin membalikkan tubuhku cepat-cepat. Tapi niat itu segera aku batalkan. Ada sesuatu yang menarik tanganku pelan.
“Gi…tank’s ya!” Dita tersenyum ramah padaku.
Aku tidak berani menatap mata itu terlalu lama, lalu kualihkan tatapan mataku kearah tangan lembutnya yang memegang pergelangan tangaku.
“Sorry, hanya itu yang bisa aku berikan sebagi hadiah ulang tahunmu.”
Dita melepaskan tangannya, lalu sedikit menyinsing lengan baju panjangnya. Sebuah gelang perak melingkar di pergelangan tangan itu. Aku terdiam untuk beberapa saat, aku ingat gelang itu aku berikan padanya dua tahun lalu, saat aku peertama kali memberikan hadiah ulang tahun untuknya pada tanggal 16 Juli. Sebentar kemudian dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasnya. Lagi-lagi aku terkejut bercampur senang karena buku kecil itu juga hadiah dariku setahun yang lalu. Dalam benakku, sebenarnya aku tidak menyangka kalau Dita menyimpan semua yang aku berikan.
“Gi…aku cuma mau nanya satu hal sama kamu dan aku berharap kamu mau menjawabnya!”
Hanya anggukan kecil yang bisa aku lakukan. Kaki-kakiku seakan bergetar, jantungku berdebar begitu hebatnya. Semua tetap sama seperti tiga tahun lalu, saat aku pertama kali melihatnya.
“Kenapa kamu begitu baik padaku?”
“Entahlah, tapi yang jelas aku ingin melakukan sesuatu yang akan kamu ingat selamanya.”
“Hanya itu?”
Suaranya seakan bergema indah dalam ruang kelas yang masih sepi itu.
“Iya. Sekali lagi met ultah ya, semoga apa yang kamu inginkan tercapai!”
Debaran hebat di seluruh tubuhku, memaksa aku untuk segera meninggalkan ruang itu. Aku benar-benar tidak mampu untuk berada begitu dekat dengannya aku berpaling dan melangkahkan kakiku menuju kantin belakang. Enikmatisecangkir kopi dan lagi-lagi sebatang rokok yang baru aku ambil dari dalam dompetku. Berulang kali aku mencoba untuk menghilangkan rasa takutku padanya. Berulangkali aku berusha mendekatkan diri padanya. Tapi teta saja aku tidak bisa. I don’t…
Aku berusaha menghilangkan sedikit keringat di dahiku pagi itu saat Riki datang menghampiri.
“Gi…Entar malem main di cafĂ© biasa, jangan telat ya!”
“Perlu latihan nggak?”
“Nggak usah, anak-anak yang lain lagi pada sibuk!”
Tumben kali ini Riki tidak bertanya tentang hal-hal yang aneh. Aku jadi sedikit lebih lega karena dialangsung meninggalkan aku dalam kesendiriankupagi itu. Pada akhirnya aku hanya menikamati kabut pagi yang mebawa embun kembali keatas lagit.
Sebagai anak band, seharusnya aku tidak boleh takut menghadapi seorang gadis. Tapisekalilagi aku harus mengatakan kalau Dita memang mempunyai sesuatu yang lain, sesuatu yang hanya dimiliki olehnya saja. Tidak pada wanita lain. Dan aku belum menemukan itu apa.
Bagiku kota Bangka adalah tempat terindah, tempat aku dilahirkan, tempat aku di besarkan dan tempat aku melihat Dita untk yang pertama kali. Terkadang ada sedikit ketakukan yang aku rasakan bila mengingat sebentar lagi aku akan lulus SMU. Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana hari- hariku nanti tanpa melihat senyum Dita. Apa aku mampu untuk melepas itu semua?
Dulu semasa aku SMP, aku ingin sekali cepat lulus. Masuk SMU dan lulus secepat kilat agar aku bisa secepatnya kuliah di Jogja. Mengambil jurusan musik di Institut Seni Indonesia. Tapi kini rasa-rasanya aku terlalu takut keluar dari Pulau Bangka. Terlalu takut untuk kehilangan senyum ayu Dita. Aku ingin berlama-lama di sekolah ini.


* * *


Malam itu aku telah berada di samping panggung kecil. Aku mengamati wajah-wajah cerah para pengunjung cafĂ© yang sedang meikmati hidangan di atas meja mereka masing-masing. Seperti biasanya aku, aku duduk di atas kursi blat dan memegang dua buah kayu kecil yang cukup panjang. Ya…aku ahli menggebuk Drum. Sejak kecil akumenyukai alat musik itu, suaranya yang keras bisa membuatku terbebas dari segala beban yang menyesakkan. Lagu demi lagu mengalun pelan, menuruti permintaan dari pengunjung. Setiap lagu selesai kami bawakan, selalu saja tepuk tangan riuh yang kami dapat. Sesekali aku meneguk minuman beralkohol dari dalam gelas yang ada di dekatku. Lagu-lagu berirama klasik semacam The Beates, Rolling Stone hingga Nirvana melantun satu-demi satu.
Seorang pelayan, menghampiri kami sambil membawa secarik kertas yang cukup lebar. Riki menerimanya lalu menyerahkan padaku. Aneh biasanya dia akan langsung memenuhi permintaan lagu dari pengunjung. Tapi kali ini dai lebih memilih agar aku yang menyanyi.
“Nih…ada yang memintamu membawakan sebuah lagi,” Riki setengah berbisik padaku.
Aku mengamati kertas itu.
Dari meja tiga, meminta sebuah lagu Since I Don’t Have You. GnR. Tapi yang nyanyi harus Gogi.
Aku tersenyum lalu mengamati meja nomer tiga yangberda cukup dekat dari panggung. Ada beberapa gadis yang duduk ditempat itu. Tapi karena lampu hanya remang-remang aku tiak tau siapa-siapa saja yang ada di sana. Memang kata teman-temanku, karakter vocal yang aku punya mirip sekali dengan Exel Rose, dan aku juga seringmenyanyikan lagu itu. Dengan cepat Riki mengambil alih tempat dudukku. Aku berdiri, walau sedikit agak goyah.
Melodi dari gitar yang dimainkan Toni sungguh menyanyat hatiku, aku paling suka lagu ini. Dimanapun aku selalu mendendangkannya. Dan mulailah aku dengan vokal andalanku. I~ Don’t have…
Setelah lagu itu selesai, aku benar-benar terkejut dengan sambutan yang aku dapat. Aku termasuk orang yang teramat sangat percaya diri bila sudah diatas panggung, apa lagi dengan sedikit alkholol di dalam tubuhku. Aku masih sempat mengamati bangku nomor tiga yang tadi memesan lagu itu. Belum sempat aku menemukan wajah-wajah asli dari gadis-gadis itu, seseorang berteriak cukup keras.
“November Rain!” suaranya menggema dan diikuti oleh yang lain.
“Novemberr rain, November rain…”
Saat itu aku merasa diriku benar-benar Exel Rose, aku mekangkah ke ketepi panggung, saat denting-denting piano pelan yang dimainkan Rudi mulai melantun.
“This for you honey! I Love you!’’
Aku menunjuk kerumunan gadis yang duduk melingkar mengelilingi meja. Aku sepertinya mengenal mereka. Yang yang kutau mereka adalah teman-teman sekolahku, tapi aku tidak tau persis siapa mereka itu.
“When I Lokking your Eyes, Ican’t see…” Lagu itu melantun pelan, lampu-lampu kerlap-kerlip menambah suasana semakin romatis bagi mereka yang datang bersama pasangannya. Aku melangkah turun dari atas panggung, berusaha menyapa siapa saja yang ada disana.
Dengan langkah pelan aku melankah dari meja ke meja. Kini aku sudah sangat dekat dengan meja nomer empat. Jantungku berdebar cukup keras, dan aku cepat-cepat naik kembali ke atas panggung. Dita…ya Dita ada diantara mereka, diantara gadis-gadis yang duduk di meja bulat itu.
Setelah lagu yang aku bawakan selesai, aku tidak lagi menuruti permintaan pengunjung yang masih meneriakkan beberapa judul lagu lainnya. Cepat-cepat aku membungkukan badanku, lalu berpaling kembali bersembunyi di balik susunan Drum yang cukup banyak di belakang. Sedikit menyembunyikan wajahku di sana.
Aku masih sempat melirik beberapa kali kearah Dita yang seakan memandang tajam ke arahku. Sepertinya, gerakan tangan dan kakiku terasa berat. Ada semacam ketakukan yang tiba-tiba saja datang, Riki sempat menoleh kearahku sekali. Aku tau ada satu ketukan yang tertinggal. Konsentrasiku bubar, semua seakan berubah menjadi Dita. Aku tidak menyangka kalau Dita akan ada di tempat ini.
Berkali-kali aku melirik arloji kesanganku, angka-angka digitalnya msih menunjukkan angka delapan lebih empat puluh enam, berarti aku harus menggebuk drum ini selama empat belas menit lagi. Huh…empat belas menit itu terasa sangat lama dengan ketakutan yang aku alami.
Akhirnya semua berakhir, tepuk tangan riuh menyambut anggukan kepala kami. Beberapa teman yang lain membantu merapikan alat-alat. Group Band selanjutnya telah siap dengan lagu-lagu mereka.
“Gi…tuh ada Dita!”
“Iya, aku tau,” aku ingin cepat-cepat pergi keruang ganti tapi Riki menarik tanganku.
“Samperin aja, jarang lho ada kesempatan seperti ini.”
“Aku mau ganti dulu!”
“Keburu pulang!”
Aku masih tidak percaya saat Riki marik tanganku keras, dan kini aku sudah sangat dekat dengan Dita. Ada sedikit yang mengganjal dengan pakaianku, aku merasa tidak sopan dengan jean’s robek sana-sini dan kaos oblong putih tanpa lengan yang aku pakai. Apalai bau keingatku seakan racun yang ganas. Aku lebih takut lagi kalau Dita mencium bau mulutku yang beraroma alkohol.
“Dita, tumben datang kesini?”
“Iya, kan pingin lihat kalian manggung.”
“Ehmm…kalau aku gabung sama kalian mengganggu nggak?”
“Enggak kok Rik, malah kami seneng banget.”
Aku masih belum berani duduk, masih mengamati Riki yang sedang berbicara dengan Dita. Kursi yang ada di dekaku seakan sudah menyuruhku untuk duduk, tapi aku masih teramat sangat takut.
“Gogi…kenapa kamu masih berdiri?”
“Eh…iya, makasih!” setelah mendengar suara dari salah seorang teman Dita, aku menjatuhkan pantatku pelan.
Detak jantungku tidak menentu, rasa-rasanya aku masih tidak percaya kalau Dita datang ke café ini dengan beberapa temannya. Sekali lagi aku mengamati bening matanya. Kerudung biru muda yang menutupi rambutnya memantulkan cahanya kebiruan dan menjadikan waah itu semakin ayu.
“Gi…suaramu bagus juga ya?”
Aku benar-benar terkejut dengan ucapan Rini, yang duduk tepat di sebelahku. Apalagi, saat itu mataku masih memandang tajam kearah Dita yang ada di hadapanku persis. Mulutku masih terkunci rapat-rapat, belum berani membukanya sedikitpun. Mataku masih belum juga berani menatap lurus tajam kedepan, belum. Hanya detak-detak tak beraturan yang selalu saja menghiasai dadaku.
“Kenapa kamu diam saja Gi?”
“Eh…nggak apa-apa,” aku memandang kearah Dita yang tiba-tiba saja menanyakan itu padaku.
“Emang kamu sering main disini?”
“Kadang-kadang aja kok. Kebetulan aja pas kamu kesini, aku pas main sama temen-temen.”
“Oh…emang gitu Rik?”
Dita menanyakan pada Riki yang sedari hanya menikmati es jeruknya. Riki hanya tertawa sambil melihat kearahku.
“Aku ke belakang dulu ya!”
Aku langsung melangkah ke belakang, tidak mempedulikan panggilan Riki. Aku tidak kuat berlama-lama dalam keadaan ini. Aku langsung menuju ke toilet, disana kulepaskan keras nafasku. Aku berdiri bersandar dan memegang kepalaku. Sedetik kemudian aku sudah terduduk di lantai. Terlalu resah hatiku, terlalu berat rasa itu menyesakkan dadaku. Jauh didalam sana, aku berharap dita mengejarku lalu memelukku di tempat ini.

* * *

Begitulah aku, seorang lelaki yang terlalu takut mengakui semua yang ada di hatiku. Aku tidak berani mengatakan itu. Terlalu menakutkan. Kini ketika aku harus meninggalkan Pulau kelahiranku, ketika laut sudah terbentang, ketika semua menjadi biru. Aku baru menyesal, aku baru sadar kalau aku tidak mampu terlalu jauh darinya. Tidak mungkin aku kembali, Jogja sudah menungguku.


*SEKIAN*


Catatan Penulis: Sebuah Cerpen Untuk Sahabatku di Pulau Bangka. Anggi Siahaan. Piye Le, Sampun punya pacar apa belum. Hahahah.....Salam buat keluarga di Bangka ya, maaf idemu ga bisa aku jadiin Novel. Waktunya ga nutut nech. Penerbit selalu bikin tema yang ga setema sama aku ...Wekekekekek.....Klo ke Jogja kabar-kabar ya.


Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

1 komentar untuk "TENTANG SEBUAH RASA"

  1. "Begitulah aku, seorang lelaki yang terlalu takut mengakui semua yang ada di hatiku"

    It sounds like reality...

    BalasHapus

Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress